punggung lelaki dan cinta dalam hati

Aku bertemu dengannya pertama kali di hari ketiga aku bekerja di toko kue itu. Jika jatuh cinta pada pandangan pertama benar ada, maka itulah kosakata yang mampu menjelaskan degup jantung yang mendadak kencang, pandangan nanar dan nafas yang seketika tertahan ketika dia mengangguk dan menyunggingkan senyum kepadaku. Dia lelaki pertama yang kuanggap mempesona. Dia pencitraan nyaris sempurna dari apa yang kudamba pada diri seorang lelaki. Minggu kedua bekerja, aku sudah mencatat dalam hati bahwa lelaki ini datang ke toko tiga kali seminggu. Kue yang selalu dibelinya adalah kue sponge pandan. Dan alih-alih dibungkus kotak kue merah muda toko kami, dia akan memasukkan kue sponge itu ke dalam kotak makan warna biru yang selalu dibawanya.
Pada perjumpaan kali ketiga, wajahnya, gerak-geriknya, mulai memeta di pikiranku. Lelaki itu tidak putih namun bersih. Ada keramahan tergurat di garis senyumnya. Matanya sepetak oase, tenang, teduh, menyejukkan. Dia tidak berbicara. Dia berdendang. Suaranya bagai sengaja disetel dalam irama bossanova yang mendayu merdu. Setelah membayar, dia akan berkata 'sampai jumpa' kemudian berlalu, meyisakan jejak samar aroma parfumnya yang akan kuendus-endus  sepanjang sisa hari walau aku tahu sudah tak tercium lagi.
Dan bagian favoritku adalah ketika dia berdiri di luar toko, persis di depan kaca di bawah tulisan "Toko Roti Iriani". Tangannya dimasukkan ke saku celana, sejenak mengamati entah apa di halaman sana. Kemudian aku akan terpaku pada punggung bidangnya yang kunikmati bagai lukisan pemandangan. Tak perlu lagi curi-curi pandang, seolah punggung itu memang disediakannya untukku.

Punggung lelaki itu menawan hati. Membuatku ingin memeluknya,  bersandar mesra di sana. Punggung itu menawarkan rasa yang tak pernah punggung lain bisa berikan. Ada hangat, nyaman dan kasih sayang tak terungkap. Momen sepersekian menit sebelum punggung itu menjauh ditelan gerombolan pohon palem depan toko itu benar-benar kuhayati. Bagai adegan klimaks film romansa. Adegan yang akan kurekam dan kuputar ulang diiringi sesungging senyum. Ah, bahkan punggung lelaki pun bisa  membuat gadis mabuk kepayang.
Tak bisa kutahan, senyum dan binar jatuh cinta itu terbawa sampai  rumah. Ibuku, mungkin adalah wanita paling kaku dan tak pedulian yang pernah kutahu. Namun naluri keibuannya terlanjur disisakannya tetap peka. Mata tengah bayanya mungkin tak menangkap, tapi nalurinya tahu. Selalu tahu.
"Kamu jatuh cinta, nak?"
Aku menunduk.
"Hati-hati. Pria tak pernah datang tanpa diikuti air mata".
Dan tak ada penjelasan lebih. Karena memang tak perlu. Kisahnya, kisah kami, sudah menjelaskan segalanya. Ketegasan dan kegetiran dalam suara ibuku memaksaku untuk paham.

Suatu siang, ketika lelaki punggung kesayangan itu datang, aku mengumpulkan nyali dan sejuta kepercayaan diri untuk kemudian bertanya malu-malu.
"Kue sponge pandan ya? Kenapa selalu membeli kue itu?"
"Ah, itu untuk istri saya. Dia suka sekali kue sponge pandan buatan toko ini."
Dan suara semanis madu itu bagai bisa yang sekejap meracuniku. Oh, aku patah hati seketika. Lelaki itu sudah ada yang memiliki. Hangus sudah kesempatanku. 
Sambil mengangguk dan tersenyum, lelaki itu berlalu. Membawa serta sebagian hatiku yang diam-diam kutanam pada dirinya. Kupandangi punggung itu, kali ini dengan setumpuk kecewa. Ibu benar. Lelaki adalah sumber kekecewaan terberat kaum hawa. Hadirnya bagai topan bagi hati wanita. Mendadak, sekejap, menyisakan kekacauan fatal. 
Punggung itu masih di sana, lebih lama dari biasanya. Ingin rasanya berlari dan, meski akan terluka, memeluknya. Namun aku hanya sanggup terpaku di belakang nampan kue sponge pandan dan berbisik kelu.
"Tak apalah jika aku hanya mendapat punggungmu, ayah. Tapi ayah memang jauh lebih tampan daripada di foto".

Midsummer Madness

When most of the time spent in a rush
many of us forget
that life is not just about a pursuit



Realizing, we left so many things behind but at the same moment we knew, too much ambition in front have to reach. There would be times when we might feel very tired, sick, bored and we started doing a lot of mistakes.
We stumbled, all that we touched tumbled down. Every single breath growing heavy, every step was unsteady.  All things seemed to be messed up and we were about to be frustrated. Our mind can hardly continue its job and our heart said that it's damn enough.
Life became a stack of paradox, mind became a stage of chaos. Then we seriously need a place to escape. To find the lost rhythm, rearrange scattered ideas.




Sometime somehow, we have a difficulty to heal this kind of life disorder. But, in my way, how to escape that madness is by doing madness. A bit of silliness, ridiculous things, great laughter, good relaxing time. Have a good meal, sharing gossip, sing as much until becoming hoarse, a little cursing and swearing, shout out loud the name who makes us annoyed, dress up and go shopping.












When the sun had seemed so bright, and the morning air no longer oppressive, then we have found our fine day back.