Anak Lelaki di Samping Jendela



 Lolipop merah jambu tergolek di atas meja kerjaku. Kuraih dan kuamati. Tidak ada wanita dewasa yang mungkin menggemarinya. Tidak ada, kecuali aku. Sepasang sayap tak kasat mata seolah tumbuh di punggungku dan membawaku melayang melewati jutaan detak waktu. Mengajakku menerobos gerbang masa, lalu mendadak aku sudah berdiri tegak, di masa lalu. Masa-masa itu....

......

Masa-masa itu, saat aku berhasil lulus SMP dan masuk SMA. Masa-masa dimana anak-anak perempuan masih setia menonton ulang serial Meteor Garden untuk ketiga kalinya. Masa-masa dimana anak-anak lelaki galau menggilai band berprestasi standar macam Seventeen, The Rain, atau Cross Bottom (dan syukurlah band Melayu alay belum menjajah  musikalitas mereka). Saat itu poster yang tertempel di atas meja belajarku adalah poster Backstreet Boys dan Won Bin. Aku bertukar komik Detektif Conan terbaru dan bukan nomor pin BB. Belum ada, di antara teman-temanku, yang mengenal Friendster apalagi Facebook dan Twitter. Masa-masa itu, masa dimana kehidupan bagi kami tak lebih rumit daripada ulangan fisika dan cinta terpendam pada anak kelas tiga. Masa-masa dimana aku merasakan seperti apa cinta pertama...

Hari Senin, hari pertama orientasi siswa baru. Dan aku sudah hampir dihukum karena lupa membawa topi untuk upacara bendera. Dengan gugup aku mengobrak-abrik isi tasku berharap menemukan keajaiban berwujud topi yang akan menyelamatkanku dari ancaman dijemur setengah hari. Rombongan putih-biru sudah mulai membentuk barisan di ujung lapangan, dan aku dengan sadar diri melangkahkan kaki ke lapangan basket, tempat anak-anak yang melanggar peraturan harus berdiri sambil diceramahi guru BK soal disiplin diri.
Tiba-tiba ada yang menghalangi jalanku. Sambil mendongak, kulihat seorang anak lelaki tersenyum memamerkan gigi putihnya. “Kamu tidak bawa topi, ya?”.
Aku mengangguk.
Anak itu mengelus-elus janggut lancipnya, “Ini, pakai saja”, katanya seraya mengulurkan topi lalu beranjak pergi.
“Terus kamu bagaimana?”
Dia hanya melambaikan tangan bahkan tanpa menoleh.
Pagi pertamaku di SMA, saat temanku yang lain sibuk mencari tanda tangan guru dan kakak kelas, aku justru kebingungan mencari sosok tinggi berdagu lancip dengan senyum manis, yang topinya sedang kudekap erat di dada.

......

“Nda, kelasmu!”, Tata, teman sekelompok ospekku berteriak seraya menunjuk ruang kelas di sebelahnya.
“Aduh, terima kasih ya, Ta. Aku pikir aku tidak dapat kelas”
“Itu mejamu”
Kuhampiri meja yang ditunjuk Tata.
Kutemukan namaku tertulis di selembar kertas yang ditempelkan di bawah kursi. Kuedarkan pandangan dan yang kutemukan adalah wajah-wajah baru.
“Hei, Bon! Mejamu di sini!”, seseorang berteriak lantang. Anak yang dipanggil itu memasuki kelas. Langkahnya disetel dengan gaya preman pasar, seolah melegitimasikan dirinya sebagai calon penguasa kelas. Dan meski jaket parasut biru-kuning itu terlalu besar untuk tubuh cekingnya, tapi tatapan tajam dan dagu lancipnya yang terangkat membuatnya mudah untuk disegani.
Ah, dagu lancip. Itu dia yang sedari tadi aku cari. Ternyata kami sekelas. Kuikuti langkahnya dengan ekor mata. Dia berhenti di mejanya dan kuhampiri dia.
“Ini topi kamu. Terima kasih banyak”. Kuangsurkan topi penyelamat itu ke hadapannya.
“Eh kamu, kita sekelas ya?”
“Maaf ya, jadi membuatmu dihukum”
“It’s okay”, sahutnya sambil tersenyum.
“Bonaaa....kita sekelas! Asiiikkk...”, serombongan gadis cantik, yang akan disebut ibuku sebagai ‘cewek masa kini’, menghampiri dan mengelilinginya. Tanpa perlu aba-aba aku mundur teratur.
Paling tidak aku sudah dapat namanya. Bona. Dan inilah yang disebut inkompatibilitas nama. Penampakan gali tapi nama seperti tokoh gajah kartun di majalah anak.
Aku kembali ke mejaku. Tiga langkah jauhnya namun serasa dibatasi membran strata. Dia, kaum populer dan aku yang kehadirannya antara ada dan tiada.

......

“Dit, tukar”, hanya dengan sekali tunjuk, Radit si ketua kelas culun dengan kerelaan kaum tertindas, merelakan posisi strategisnya untuk Bona. Meja samping jendela, memberinya akses tak terbatas ke luar kelas, ke jalan sempit yang sering dilewati anak-anak perempuan yang hendak ke mushola.
“Nda, boleh pinjem tugas kamu?”, Bona tersenyum manis manja ke arahku.
“Aku?”, aku menunjuk diriku sendiri, bingung.
“Iya, kamu”
“Kok kamu tahu namaku?”, aku masih bingung.
“Apa sih yang aku tidak tahu tentang kamu? Hehe, bercanda. Itu teman kamu sering memanggilmu, Nda Nda. Ngomong-ngomong, Nda itu kepanjangannya apa? Panda ya?”
Aku mendengus, “Manda.”
“Oh, Manda. Aku Bona”, dia mengulurkan tangan dan kami bersalaman.
Pagi itu, hari kedua kami di SMA, perkenalan kami ditutup dengan dia yang duduk di meja samping jendelanya, asik menulis salinan tugas yang kudiktekan kepadanya.

......

“Dasa Dharma Pramuka saja kamu tidak hafal?! Kamu Bodoh ya??”, kakak senior pembina Pramuka berteriak tepat di depan wajah Bona. Dahinya berkerut manakala air liur si senior menerjangnya.
“Iya kak! Saya memang bodoh! Makanya saya sekolah!”, balas Bona dengan kelantangan dan semburan air liur yang sanggup membuat si senior mundur selangkah. Aku yang mengawasi dari tempatku berbaris terkikik geli.
“Kamu kenapa cekikikan, dek?? Sok cantik! Cepat maju ke sini kamu!”, senior lain membentakku dan membuatku gelagapan. “Cepat sekarang kamu merayu pohon sampai pohonnya bergerak!”, bentak senior itu lagi.
Aku melongo sesaat. Barisan kelompok Bona lewat di depanku. Dan saat aku sedang memikirkan rayuan apa yang bisa membuat pohon bergerak, kulihat Bona tersenyum sambil mengangkat kepalan tangan ke udara. Mulutnya melavalkan kata ‘semangat’ tanpa suara.
Kelak, saat aku berkumpul dengan teman-teman SMAku dan mengenang hal-hal paling membekas di hari penggojlogan itu, maka aku akan bercerita tentang bagaimana aku merayu pohon palem dan mencoba membuatnya bergerak.
Teman-temanku tidak pernah tahu, bahwa yang sesungguhnya paling membekas bagiku adalah saat Bona dibentak, “Ganjen kamu! Pakai acara menyemangati pacarmu segala!”, dan dibalas Bona dengan, “Semangat, hun!”, sambil melambai ke arahku. Mereka tidak tahu bahwa yang paling membekas bagiku adalah saat kami berdua dihukum ‘menyanyikan lagu balonku ada lima sambil menari balet’, dan bagaimana bulu kudukku berdiri tiap kali Bona diam-diam tersenyum ke arahku dan berbisik, “Semangat ya hun”, dan kemudian terkikik geli.

......

Bona adalah lelaki paradoks pertama yang kukenal. Apa yang nampak dan orang lain bisa lihat tak pernah merepresentasikan dia yang sesungguhnya.
Kecuali matanya.
Matanya adalah gumpalan beku bola salju saat dia menatap teman lelaki yang membuatnya sebal. Namun seketika meleleh menjadi hamparan oase teduh dan sejuk saat dia berhadapan dengan teman perempuannya.
Dia bisa berbicara kasar dan bertengkar layaknya remaja biasa. Namun suaranya sehangat dan semanis teh madu saat berbicara tentang keluarganya. Bona tak segan berkelahi, namun matanya akan berkaca-kaca bahkan hanya dengan melihat seorang ibu yang memeluk anaknya. Dia melahap komik-komik Slam Dunk dan mungkin beberapa majalah dewasa, tapi tetap saja doyan menonton drama Korea.
‘Kamu itu seperti gelas kristal”, kataku padanya suatu waktu.
“Kok bisa?”
“Kelihatannya angkuh, kuat dan berkilau. Tapi sekali banting...”, aku menggerakkan tangan dramatis, “Pyaarr...pecah. hancur tak tertolong.”
Dia terkekeh, “So, please, jangan pernah banting aku.”
Bona punya satu kegemaran. Duduk di samping jendela. Sejak kelas satu hingga kelas tiga dia selalu memilih meja di samping jendela. Hampir di setiap waktu senggang dan tak senggangnya dia akan melayangkan pandang ke luar jendela. Jika begitu, dia seolah terbungkus selaput yang menjaganya tetap berada di dunia sureal ciptaannya.
Aku pernah bertanya, “Lihat apa?”
“Yang tidak kamu lihat”, jawabnya.
“Anak-anak cewek I-7 habis olahraga ya?’
Dia tergelak, “Itu juga.”
“Aku sedang lihat itu”, Bona menunjuk ke luar jendela, ke arah Pak Jum, penjaga sekolah kami, yang sedang bercanda dengan istrinya.
“Bagiku itu romantis dan bikin pengin nangis”, matanya menerawang. “Aku kelihatan lemah, ya? Seperti itu saja bisa bikin nangis”
“Sentimentil tidak sama dengan lemah, Bon. Kamu begitu karena kamu punya empati besar. Kamu peka pada emosi di sekitarmu.”
Dia tersenyum, matanya yang teduh memancar hangat. “Thanks for saying that
Dari situ aku tahu, anak lelaki di samping jendela itu bukanlah remaja lelaki pada umumnya.

......

Who knows how long I’ve loved you
You know I love you still
Will I wait a lonely lifetime
If you want me to I will
Tak perlu mesin waktu, beberapa orang hanya perlu mendengarkan sebuah lagu untuk bisa kembali ke masa lalu. Aku salah satunya. Ada yang bilang, tak peduli apapun yang berubah darimu, sebuah lagu akan selalu sama, termasuk kenangan yang dibawanya. Dan hanya dengan mendengar I Will-nya The Beatles aku tahu itu benar.
Lagu itu membawaku kembali ke lorong kelas, tempat aku mengamati Bona duduk dan bersenda gurau dengan geng populernya. Ke kantin 2, tempat aku melihatnya melahap nasi bakmoy favoritnya. Ke lapangan basket, tempat dia bertanding dan aku jadi pemandu sorak yang menyemangatinya tanpa suara. Atau ke meja di samping jendela, tempat tatapanku selalu terpaku dan tak mau diajak berlalu.

......

Aku tidak suka makan permen. Setidaknya sampai aku makan lolipop dari Bona.
Suatu siang, sehabis istirahat, aku masuk kelas saat Bona dikerubuti para gadis. Aku menyeruak di antara mereka dan kulihat Bona sedang membagi-bagikan permen.
“Aku mau!”, seruku.
Bona mengangkat kedua tangannya. “Yah, habis Nda. Maaf, ya.”
Aku mendengus kecewa.
“Eh, tunggu sebentar.” Bona merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang lolipop merah jambu.
“Ini buat kamu.”
Aku diserang “Huuu...” serempak dari para gadis yang kubalas dengan mengangkat lolipop itu bak piala kejuaraan.
Dan walaupun sejak saat itu aku jadi menggemari lolipop merah jambu seperti yang Bona beri, namun tak pernah kurasakan lolipop seenak lolipop dari Bona.
Lolipop rasa cinta.

......

“Kok belum pulang?”, tanyaku pada Bona.
Kelas sudah kosong, hanya ada Bona yang duduk di samping jendela, memandang ke arah barat.
Bona menggeleng.
“Senjanya baguskah?”, tanyaku.
Dengan isyarat dia menyuruhku mendekat.
“Kok kamu tahu kalau aku sedang melihat senja?”, digesernya kursi agar aku dapat duduk di sebelahnya.
“Apa sih yang aku tidak tahu tentang kamu?”
Kami berdua tergelak.
“Bagus ya?”, tanyannya lirih.
Aku melongokkan kepala dan tampaklah sepetak langit berwarna jingga-merah muda-keemasan.
“Hu-um”, hanya itu jawabanku.
“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi”
“Perasaan aku sudah bilang hu-um”
“Pertanyaan pertamaku tadi, Nda. Kok kamu tahu kalau aku sedang melihat senja?”
“Karena hanya sesama sentimentil yang bisa memahami orang sentimentil.”
Bona memasang ekspresi maksud-kamu-apa.
“Hampir semua orang sentimentil suka melihat senja”, lanjutku. “Kamu”, aku menunjuknya, “adalah raja sentimentil. Sore-sore begini menghadap arah barat, mata menerawang, apalagi kalau tidak melihat senja?”
“Kenapa orang sentimentil suka melihat senja?”, dia bertanya.
“Entahlah. Mungkin karena senja itu seperti kita. Sukar dideskripsikan dengan kata-kata.”
Dia tersenyum. Matanya kembali menerawang. Kutatap wajahnya dari samping dan menemukan bahwa sinar matahari sore sangat cocok dengan senyumnya.
Orang mungkin tidak tahu, indahnya senja bukan soal warna, melainkan soal dengan siapa kita melihatnya. Dan hingga detik ini, aku belum pernah melihat senja yang lebih dari indah daripada senja yang kulihat sore itu bersama Bona.

......

Ada satu dialog dalam film yang akan kuingat selama hayat dikandung badan. Bunyinya seperti ini, ‘Memendam rasa cinta adalah jalan tercepat menuju patah hati’. Andai aku tahu siapa yang menciptakan kalimat itu, pasti sudah kujabat tangannya. Selamat, anda benar.
Dulu, kusangka tak ada yang lebih mengenaskan daripada nilai 2 dalam ulangan fisika. Dulu, sebelum aku jatuh cinta diam-diam dan tak berani bilang. Dan jika itu belum cukup mengenaskan, hari itu adalah sisa yang menggenapinya.
Minggu terakhir tahun pertama kami di SMA. Sore yang sepi, halaman depan gedung induk telah lengang. Hanya ada suara dari potongan percakapanku dengan beberapa teman yang belum pulang.
“Nda, aku pulang dulu, ya”, Tata yang duduk di sebelahku tiba-tiba beranjak dari duduknya.
“Pulang sama siapa, Ta?”, tanyaku.
“Pacar dong”, celetuk Ade, teman sekelasku, pelopor gosip terdepan dan terpercaya.
Tata mengulum senyum. “Calon”, katanya mengoreksi.
“Ih, punya gebetan kok nggak cerita sih, Ta? Yang mana orangnya?”, tanyaku.
“Tuh!”, Ade mengendikkan kepala ke sosok yang berjalan ke arah kami.
Dulu, jika orang ini berjalan, aku otomatis akan membayangkan dia adalah bintang utama sebuah film yang muncul dalam suatu adegan dengan slow motion dan intro Beautiful Ones milik Suede sebagai musik latarnya.
Namun sekarang, saat dia berjalan dengan gaya pongahnya dan angin panas bulan Mei mengibaskan jaket parasut biru-kuning yang kebesaran, satu-satunya musik latar yang terbayang di benakku adalah Layu Sebelum Berkembang.

......

Tahun pertama kami di SMA telah usai. Demikian juga dengan kisah cinta pertamaku.
Bona dan Tata ternyata tak pernah resmi menjadi sepasang kekasih. “Hanya euforia PDKT”, begitu kata Ade. Kudengar kemudian beberapa gadis hilir mudik di kehidupan cinta SMA Bona.
Aku? Aku masih setia bersliweran di lororng demi melihatnya nongkrong dengan teman-temannya. Masih setia menjadi pemandu sorak yang menyorakinya lewat doa di setiap pertandingan basketnya. Dan karena kami tak lagi satu kelas, adakalanya aku mengunjungi kelasnya dengan alasan meminjam buku dan sebangsanya. Akan kuamati meja di samping jendela tempat dia berada dan jika beruntung, seulas senyum hangat itu akan menjadi bingkisan bagiku.

......

Spanduk selamat datang para alumni menyambutku saat kulangkahkan kaki memasuki halaman SMAku. Ada yang menghangat di dalam dada saat serangan nostalgia menyerbu ingatanku. Gerbang, lapangan, gedung induk, pos satpam. Ah, masa-masa itu.
Atas nama sentimentalitas, kukulum lolipop merah jambu yang sedari tadi tersimpan di saku celana. Banyak tahun telah berlalu dan aku tahu aku tak perlu berharap akan berjumpa Bona.
“Mbak, pembukaannya di lapangan, ya”, seorang anak bername tag panitia mennghampiriku.
“Oke, terima kasih”, jawabku lalu memutar langkah menuju lapangan.
Masih jam setengah delapan pagi, namun matahari sudah bersinar terik, membuatku memilih berjalan sambil menunduk. Aku berhenti saat tiba-tiba sebuah bayangan melingkupiku dan menghalau silau.
Aku mendongak.
Waktu mungkin bisa merubah banyak hal termasuk perasaan. Namun kali ini waktu ternyata tak mampu mengubah dagu. Laki-laki yang berdiri di hadapanku tersenyum dan walau wajahnya tak begitu terlihat jelas karena silau tapi dagu legendarisnya itu membuatku langsung mengenalinya.
“Kamu tidak bawa topi?”, dia bertanya. “Pakai ini.”
Aku tersenyum dan menerima topi yang disodorkannya.
Lapangan SMA pagi itu. Dua teman lama berjalan beriringan, seru bercerita. Salah satu dari mereka bercerita banyak tentang keluarga. Yang lainnya cukup mendengarkan dan sesekali tertawa.
Tak ada yang tahu kalau hatinya tak lagi di situ. Sudah dilarikan dari dunia nyata dan kini duduk di sebelah anak lelaki di samping jendela.


Semarang, Juli 2013
Pro: Shirom