Mari sok bergaya menjadi penyambung harapan...

 Dini, kelas 4 SD dan Inta kelas 6 SD. Orangtua tidak sanggup membayar uang sekolah karena hanya cukup untuk makan dan membayar hutang.
Sigit, kelas 3 SMP. Setelah 'rebutan' dengan kebutuhan untuk membangun kembali rumah dan menyambung kembali hidup setelah menjadi korban banjir lahar dingin, orangtuanya hanya mampu membayar 25 ribu rupiah setiap bulannya untuk uang sekolah, belum sampai separuh dari total yang harus dibayar.



Hanya itu saja yang saya tahu dari ketiga bocah yang akhir-akhir ini membuat saya menjadi merasa sedikit berguna.  Ya, setiap bulannya saya berusaha menyisihkan uang untuk menggenapi kekurangan biaya mereka itu. Dalam bahasa pamernya, saya kakak asuh mereka. Kakak asuh kecil-kecilan.  Asal-usul cerita ini sebenarnya karena ibu saya. Ibu saya, yang seorang guru, adalah orang tua asuh dari beberapa anak. Beberapa di antaranya adalah murid-muridnya sendiri. Suatu saat, hanya beberapa hari setelah saya pertama kali masuk kerja, ibu saya mengirim pesan di hp saya. Isinya: “Inta dan Dini kasihan banget. Orang tuanya gak sanggup bayar uang sekolahnya. Kalau kamu yang bayar biaya mereka tiap bulan, mau apa tidak?”. Ketika itu entah mengapa saya langsung membalas “mau”. Saya tidak berpikir macam-macam ketika itu. Tidak mempertimbangkan berapa biaya uang sekolah mereka. Apakah gaji ‘new worker’ ini cukup atau tidak bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.  Tidak memikirkan apakah mampu setiap bulan memenuhi kesanggupan yang saya sudah sampaikan pada ibu tadi. Wis pokok’e manteb muni gelem. Ketika ada pesan tambahan lagi, “tambah 1 ya. Namanya Sigit. Ibunya Cuma sanggup bayar 25 ribu, padahal uang sekolahnya 55 ribu. Kamu yang nombok’i sisanya ya.”, saya kembali menyanggupi.
Lalu ketika untuk pertama kalinya saya mengirim uang itu pada mereka, saya sempat berpikir bahwa, this is how world works. Bagaimana bisa uang yang setara dengan harga -hanya satu gelas kecil- kopi mahal favorit saya, bisa menyambung harapan seorang anak untuk tetap percaya dia bisa tetap punya cita-cita. Satu gelas kopi yang habis dalam beberapa tegukan, saya barterkan dengan kesempatan berharga seorang anak untuk tetap melanjutkan sekolah.
Kemudian, anggap saya pamer dengan menuliskan dan mempublikasikan cerita ini di sini. Memang, saya memang ingin pamer. Awal mulanya, saya sempat ragu karena saya adalah tipikal orang yang justru malu jika ketahuan menolong orang. Saya terkadang sungkan dengan ucapan terima kasih dan perasaan utang budi orang lain. Namun kemudian saya seperti disentil Tuhan. Ini bukan saatnya malu. Kalau saya malu, saya membunuh kesempatan anak-anak lain yang ingin mempertahankan harapan untuk melanjutkan  sekolah. Maka, saya pun menyimpang sedikit dari ajaran kitab suci “Jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu tahu”. Bagi saya sekarang, jika tangan kanan saya memberi, biar saja tangan kiri tahu supaya bersama-sama tangan kanan, tangan kiri bisa ikut membantu. Akan lebih baik jika mata juga melihat, telinga juga mendengar, karena semakin banyak yang tahu dan ikut membantu bukankah akan jauh lebih baik.
Jadi, inilah konklusinya. Saya sampaikan ini dengan harapan siapapun yang membacanya akan tahu dan ikut membantu. Siapapun itu, berapapun itu, kita tidak pernah tahu betapa itu sangat berarti bagi Inta, Dini, Sigit teman sebangku Intan, tetangga depan rumah Sigit, anak teman ibu Dini, dan sejuta anak lain di sekitar kita yang terancam merelakan cita-cita dan harapan besar mereka karena kondisi. Saya tak akan tahu bagaimana kelanjutan nasib sekolah Inta, Dini dan Sigit, kalau saya (atau orang lain yang mungkin akan membantunya jika saya menolak membantu mereka)  lebih memilih nongkrong di coffee shop atau memanjakan diri di salon kecantikan dan acuh dengan kondisi mereka.
Lalu, ini bukan soal bagaimana kita, saya atau anda menjadi penolong mereka. Ini soal bagaimana  kita menjaga harapan tulus seorang anak untuk mengubah hidupnya, dunianya, tetap hidup. Bagaimana kita membangun harapan yang sama tulusnya dengan mereka; melihat mereka tetap percaya mereka masih boleh punya cita-cita.

Andakah penyambung harapan selanjutnya? Masih banyak lho teman-teman Sigit, Dini dan Intan.

private sentimental time...

Not selfish, but people, sometimes in their fully loaded days, need a little personal time. A simple thing that makes us humans being. A little doings, which seemed restore all of our time that wasted. Some people get it, but some other do not even know. Stuck in a routine, pretending there's no need to do that. But yes, we do need it, pulled away for a moment from the busyness of the world. For a moment, just create our own world, to enjoy our own lives. Privately.

 Like I usually do. In my daily routine, which is, in odd moments, filled by tired, dizzy, confused, and upset, my necessity to unwind, take a break, make a deep breath were unbearable.Then, it's just like pressing the pause button, stopping my world, out of the path i am on for awhile.  And be alone. Alone but never feel lonely. Then I called it 'my private sentimental time'.

I have a list of sentimental things that I often do. 
- Listening to my favorite music, walking down the street, pretending that I'm walking in a foreign place.
- Reading a good book, eating chocolate, imagining that I am a part of the story.
- Watching movies in my room then daydreaming I am in a dramatic movie.
- Enjoying the wind blows with a cup of coffee and sentimental songs.
- Sitting on the roof of my house, seeing the sunset and little birds flying back to nest.
- Oh, and sleeping, certainly. ^_^

There're so much time when I imagine If I were in a different world. Being someone else, live a life I don't know what, in a place I don't know where, at the time I don't know when. I guess, it's a typical of the real sentimental person. But, believe or not, it simply liven up my life.



Music, novel, coffee, chocolate, dozens of imagination...
I am ready..
 Let's get it started!