catching the twilight


It's a time. Trapped in my sentimental side. Simply withstanding me in an absurd feeling dimension. Like pause between breath, space between words, interlude between songs.
Unspeakable.
It's time when my soul seems like has its own journey. Down a long windy road, infinitely.
Escaping without borders.
I'm like a clock losing its battery. My world stop turning.
I want to run after the sun. I want to fly beyond the blue sky. Find the end of the rainbow. Dance with the wind. Sing along the stars. I am sparkling like my dreams

I'm standing in the middle of nowhere. Dragged by the wave of a magic spell. Such flipping hourglass. My mind burst into millions of fireworks. Then my life would be like random pieces of a puzzle, i tried to set it up into a perfect frame. Crystallized into what my heart wish for. A fairy tale I long for to be true.

Feel my heart beating. Feel my breath roaring. Feel my mind yelling.

I'm the twilight catcher...

Paradox

the most pathetic of the sentimental person is that they're lonely not when they're alone but precisely when they're in a crowd 


that was genuinely so me


Lalu,,,,


aku memilih untuk pulang
kembali ke jalan sepi berangin yang adalah hatimu,,
namun lalu aku tersesat, karena hatimu tak lagi sama..
rimba dingin angkuh menderaku dalam malam-malam dingin yang bisu
ketika aku berjalan,
sendirian...
aku hampir mati, tenggelam dalam kubangan asaku sendiri.
Mungkin kau lupa bahwa bagiku kau tak hanya sekedar sepenggal kata,
kau adalah sebaris cerita,
dalam kias asmara dan liku metafora.
aku pulang untukmu,
ingin menulis kembali cerita itu hingga usai,
tapi kau tak peduli
karena kau tak cinta...itu saja alasannya,

Mari sok bergaya menjadi penyambung harapan...

 Dini, kelas 4 SD dan Inta kelas 6 SD. Orangtua tidak sanggup membayar uang sekolah karena hanya cukup untuk makan dan membayar hutang.
Sigit, kelas 3 SMP. Setelah 'rebutan' dengan kebutuhan untuk membangun kembali rumah dan menyambung kembali hidup setelah menjadi korban banjir lahar dingin, orangtuanya hanya mampu membayar 25 ribu rupiah setiap bulannya untuk uang sekolah, belum sampai separuh dari total yang harus dibayar.



Hanya itu saja yang saya tahu dari ketiga bocah yang akhir-akhir ini membuat saya menjadi merasa sedikit berguna.  Ya, setiap bulannya saya berusaha menyisihkan uang untuk menggenapi kekurangan biaya mereka itu. Dalam bahasa pamernya, saya kakak asuh mereka. Kakak asuh kecil-kecilan.  Asal-usul cerita ini sebenarnya karena ibu saya. Ibu saya, yang seorang guru, adalah orang tua asuh dari beberapa anak. Beberapa di antaranya adalah murid-muridnya sendiri. Suatu saat, hanya beberapa hari setelah saya pertama kali masuk kerja, ibu saya mengirim pesan di hp saya. Isinya: “Inta dan Dini kasihan banget. Orang tuanya gak sanggup bayar uang sekolahnya. Kalau kamu yang bayar biaya mereka tiap bulan, mau apa tidak?”. Ketika itu entah mengapa saya langsung membalas “mau”. Saya tidak berpikir macam-macam ketika itu. Tidak mempertimbangkan berapa biaya uang sekolah mereka. Apakah gaji ‘new worker’ ini cukup atau tidak bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.  Tidak memikirkan apakah mampu setiap bulan memenuhi kesanggupan yang saya sudah sampaikan pada ibu tadi. Wis pokok’e manteb muni gelem. Ketika ada pesan tambahan lagi, “tambah 1 ya. Namanya Sigit. Ibunya Cuma sanggup bayar 25 ribu, padahal uang sekolahnya 55 ribu. Kamu yang nombok’i sisanya ya.”, saya kembali menyanggupi.
Lalu ketika untuk pertama kalinya saya mengirim uang itu pada mereka, saya sempat berpikir bahwa, this is how world works. Bagaimana bisa uang yang setara dengan harga -hanya satu gelas kecil- kopi mahal favorit saya, bisa menyambung harapan seorang anak untuk tetap percaya dia bisa tetap punya cita-cita. Satu gelas kopi yang habis dalam beberapa tegukan, saya barterkan dengan kesempatan berharga seorang anak untuk tetap melanjutkan sekolah.
Kemudian, anggap saya pamer dengan menuliskan dan mempublikasikan cerita ini di sini. Memang, saya memang ingin pamer. Awal mulanya, saya sempat ragu karena saya adalah tipikal orang yang justru malu jika ketahuan menolong orang. Saya terkadang sungkan dengan ucapan terima kasih dan perasaan utang budi orang lain. Namun kemudian saya seperti disentil Tuhan. Ini bukan saatnya malu. Kalau saya malu, saya membunuh kesempatan anak-anak lain yang ingin mempertahankan harapan untuk melanjutkan  sekolah. Maka, saya pun menyimpang sedikit dari ajaran kitab suci “Jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu tahu”. Bagi saya sekarang, jika tangan kanan saya memberi, biar saja tangan kiri tahu supaya bersama-sama tangan kanan, tangan kiri bisa ikut membantu. Akan lebih baik jika mata juga melihat, telinga juga mendengar, karena semakin banyak yang tahu dan ikut membantu bukankah akan jauh lebih baik.
Jadi, inilah konklusinya. Saya sampaikan ini dengan harapan siapapun yang membacanya akan tahu dan ikut membantu. Siapapun itu, berapapun itu, kita tidak pernah tahu betapa itu sangat berarti bagi Inta, Dini, Sigit teman sebangku Intan, tetangga depan rumah Sigit, anak teman ibu Dini, dan sejuta anak lain di sekitar kita yang terancam merelakan cita-cita dan harapan besar mereka karena kondisi. Saya tak akan tahu bagaimana kelanjutan nasib sekolah Inta, Dini dan Sigit, kalau saya (atau orang lain yang mungkin akan membantunya jika saya menolak membantu mereka)  lebih memilih nongkrong di coffee shop atau memanjakan diri di salon kecantikan dan acuh dengan kondisi mereka.
Lalu, ini bukan soal bagaimana kita, saya atau anda menjadi penolong mereka. Ini soal bagaimana  kita menjaga harapan tulus seorang anak untuk mengubah hidupnya, dunianya, tetap hidup. Bagaimana kita membangun harapan yang sama tulusnya dengan mereka; melihat mereka tetap percaya mereka masih boleh punya cita-cita.

Andakah penyambung harapan selanjutnya? Masih banyak lho teman-teman Sigit, Dini dan Intan.

private sentimental time...

Not selfish, but people, sometimes in their fully loaded days, need a little personal time. A simple thing that makes us humans being. A little doings, which seemed restore all of our time that wasted. Some people get it, but some other do not even know. Stuck in a routine, pretending there's no need to do that. But yes, we do need it, pulled away for a moment from the busyness of the world. For a moment, just create our own world, to enjoy our own lives. Privately.

 Like I usually do. In my daily routine, which is, in odd moments, filled by tired, dizzy, confused, and upset, my necessity to unwind, take a break, make a deep breath were unbearable.Then, it's just like pressing the pause button, stopping my world, out of the path i am on for awhile.  And be alone. Alone but never feel lonely. Then I called it 'my private sentimental time'.

I have a list of sentimental things that I often do. 
- Listening to my favorite music, walking down the street, pretending that I'm walking in a foreign place.
- Reading a good book, eating chocolate, imagining that I am a part of the story.
- Watching movies in my room then daydreaming I am in a dramatic movie.
- Enjoying the wind blows with a cup of coffee and sentimental songs.
- Sitting on the roof of my house, seeing the sunset and little birds flying back to nest.
- Oh, and sleeping, certainly. ^_^

There're so much time when I imagine If I were in a different world. Being someone else, live a life I don't know what, in a place I don't know where, at the time I don't know when. I guess, it's a typical of the real sentimental person. But, believe or not, it simply liven up my life.



Music, novel, coffee, chocolate, dozens of imagination...
I am ready..
 Let's get it started!


The Picture of Me

That's me!
Based on Theresia Wijayanti's memory about me.
Coffee, Novel, Imagination. And a bunch of unspoken love.
Simply meaningful,  how I remain, stay in your heart.
Even though it would be hard for us to spend the day together anymore,
I do believe, nothing can remove me from your life. ^_^
Thank you bro, for drawing me beautifully.
You always be the best at understanding me.... 
Big hug...

18 hari pertama bulan september..


Ada secuil masa, tidak lebih saya suka jika dibandingkan dengan 85 hari berangin awal kemarau favorit saya yang datang sebelumnya, memang. Namun masa itu adalah sebuah langkah. Hanya berumur 18 hari, tetapi menggariskan kesan sekekal warna pelangi. Jika saya adalah perahu, maka itu adalah 18 hari dimana saya mulai mengurai gulungan layar, memantabkan haluan dan menanti angin tiba, menarik sauh lalu menolakkan diri dari dermaga. Menahan dan bertahan agar buritan tak karam karena lepas dari tempatnya bersandar. Kehilangan lalu sendirian di tengah gelombang. Berjumpa badai. Terdampar di himpunan cadas tanpa menara suar. Dan perlahan meniti lalu berjumpa tepi dermaga berikutnya.

18 hari itu saya belajar memaknai arti memulai dan mengakhiri, menangis dan tertawa, menggenggam dan melepaskan, berlari dan jalan di tempat, terjatuh dan mencoba bangkit, melewati tanjakan dan turunan, kehilangan dan menemukan, mempertahankan dan merelakan, menggeleng dan mengangguk, berteriak dan terdiam,berpelukan dan terpaksa menyudahinya. Bermimpi dan harus pergi.

18 hari hanya isi hati. Sebuah pernyataan akan ketidakmampuan diri untuk berucap, mengungkap semua emosi yang tak mungkin ditulis dengan denotasi tanpa permenungan setengah mati. Ini mengenai cerita tanpa suku kata, film dengan terjemahan tak terbaca. 18 hari ini hanya soal memahami.

Lalu tanpa tendensi, akhirnya 18 hari hanyalah penggalan-penggalan hidup dalam suatu rentangan waktu. 18 hari adalah hari berangin yang Tuhan sisakan untuk menguatkan hati. 18 hari adalah siang yang terik dengan sepetak awan gelap yang menipu. 18 hari adalah pagi mendung menjelang hujan tak berkesudahan. 18 hari adalah malam-malam dingin berbintang. 18 hari adalah senja pertama tanpa teman. Dan 18 hari adalah mimpi, terbangun lalu melangkah kembali.


yang sedang saya pertahankan untuk tidak keluar...

Tears are words the heart can't express (unknown)

random little things of remembering you



When I open my eyes, there's sweet sunshine
With the fresh aroma of fruits all around
With a full cup of mocha latte, I sit on this small terrace
And when I think of you
There's a sweet melody I hear
It reminds me of your smile
And unconsciously, all the feelings treasured inside me throughout the day
Come back to me again

We haven't asked each other if this is possible
If we can love like this
But, but who cares, like magic
I can't hide this feeling like I'm about to fly

Oh, day by day, day by day, my heart
 I'll fill it with love, like your heart too
Like a soft cream, let's look upon each other
Please think only of the good things

Even if at times, some things
May hurt my heart
If I just think of those wonderful memories of you
I can be happy

(Day by Day)















...and when the journey is true
Each time we say "Goodnight"
We'll thank the little star that shines
The second from the right....

..if it could be wrapped..



I wish I could wrap all of you guys, I'll keep and open it everytime I miss you.
Lucky, God is present in my life through you. I'm so thankful. 






No one could ever know me
No one could ever see me
Since you're the only one who knows what it's like to be me
Someone to face the day with
Make it through all the best with
Someone who always laughs at
Even when I'm at my worst, I'm best with you
(Rembrandts_I'll Be There For You)


When you're the best of friends
Sharing all that you discover
When that moment has past, will that friendship last?
Who can say? There's a way!
Oh I hope... I hope it never ends
'Cause you're the best of friends
(Fox And The Hound_Best Of Friends)

I believe in what we are
You will take me all the way, as day by day
Oh, you and me, hand in hand
To everywhere amazing
Be my friend, oh friend
We are forever friends
(Forever Friends_Fiona Fung)





 Were forever friends
Bond by love that time can't take away
Forever friends caring in a special kind of way
Heart to heart and hand in hand
We'll stand until the end
Loves forever when your forever friends
(Forever Friends_Sandi Patti)


Thank you so much, Lord, for giving me them...