Pohon Kersen dan Hujannya...(Part 1)


Alkisah, ada sebatang pohon kersen yang tumbuh di lereng bukit gersang. Anggun, teduh, bersahaja. Dan sendirian.
Daunnya yang rimbun dan buahnya yang merah menggugah, menggoda setiap orang yang lewat untuk melangkahkan kaki menghampirinya, sekedar duduk melepas lelah atau malah tertidur karena betah. Pohon kersen begitu pemurah. Disambutnya mereka dengan rengkuhan ranting dan senyum hangat bunganya. Diperbolehkannya sang angin berlarian di helai-helai daunnya. Diijinkannya burung-burung berdendang di pucuk tertingginya. Dijamunya mereka yang datang layaknya teman. 

Dari sekian banyak teman yang dimilikinya, ada satu yang terasa istimewa. Yang mampu menggamit jiwanya hingga meronta dari raga. Dia yang selalu dinantinya untuk singgah. Dia yang selalu diharapkannya untuk tinggal lebih lama. Dialah sang hujan. 
Ya, pohon kersen itu mendamba sang hujan dalam bisunya. Memujanya untuk setiap butiran air yang menyapa dalam kerontang. Nuansa yang hujan sajikan tiap kali dia datang membuat pohon kersen mabuk kepayang. Tak bisa dijawabnya ketika burung parkit sahabatnya bertanya mengapa bisa. Pohon kersen tak punya kosakata untuk menjabarkan cinta. Atau tak punya waktu karena habis untuk tersipu?
Ah, seperti inikah yang awan sebut dengan cinta?
Awan bercerita rasanya seperti terbang di antara bintang. Tapi pohon kersen tak pernah paham rasanya terbang. Baginya jatuh cinta terasa seperti ditaburi ribuan kunang-kunang. Ah, bukankah sama saja. 
Jatuh cinta berarti penuh cahaya.

Pohon kersen kadang tak mengerti, mengapa ada yang tak menyukai hujannya. Pak tua yang selalu membuka bekal di bawah bayang-bayang tengah harinya bahkan mengumpat jika hujan singgah ke bukit itu. Apa salah hujan? Bukankah dia begitu menyenangkan? Bukankah dia begitu indah? Begitu pikir pohon kersen yang sedang didera asmara. 
Pohon kersen ingat, betapa hujan sangat perhatian. Di suatu masa, ketika pohon kersen untuk pertama kalinya merasakan lara, hujan tak jemu menemaninya. Hujan mengemas sebuah bingkisan paling manis yang pernah pohon kersen terima sepanjang dia tumbuh di sana. Usai tengah hari, ketika matahari masih meraja di angkasa, dibujuklah angin agar meniup mendung tepat di atas bukit itu. Dan tiba-tiba dengan sangat rupawan hujan tampil di sana dengan latar matahari siang yang tersenyum lewat sinarnya. Dibiaskannya senyum matahari itu menjadi sebaris warna. Merah, kuning, hijau, lalu entah apa. Pohon kersen menakjubi keajaiban di depannya. Warna-warni itu terlampau indah untuk diungkapkan dalam bahasa apapun juga. Dia hanya mampu menatap dan memuja. 
Itulah pelangi pertamanya.

Pernah pohon kersen disengat cemburu. Pada gadis kemayu yang suka sekali menari di bawah payung berwarna biru ketika hujan menderaskan belaiannya. Pohon kersen tak suka jika gadis itu mulai bernyanyi. Hujan akan sangat menikmati dan melupakan ceritanya tentang berbagai tempat di balik bukit yang tak pernah pohon kersen dengar sebelumnya.
Atau pada mawar. Tak perlu bertanya mengapa bunga mawar membuatnya iri.
Pernah suatu ketika ditanyainya sang hujan,
"Mengapa kau tak ikut bermain bersama awan di belukar mawar? Bukankah kalian semua suka cantiknya? Oh ya, dan dia wangi tentu saja."
"Oh, aku tak suka mawar. Bagiku dia biasa-biasa saja. Rasanya percuma dan tak berguna kalau cantik tapi bisa membuat luka. Tahukah kau mengapa parkit tak pernah berpaling satu kalipun pada rona merahnya? Karena menurutku hijau daunmu jauh lebih mempesona."
Ah, ingin sekali pohon kersen merengkuh hujan yang saat itu begitu menggemaskan, menyimpannya di balik dedaunnya agar tak pergi walau kemarau menghampiri.


Begitulah cinta pohon kersen pada hujan yang dikuburnya begitu dalam. Tak mampu diambilnya kembali hati yang telah terdampar. 
Awan pun mencandainya, "Jika seseorang menggali di sekitarmu, dia pasti tak akan menemukan akar, melainkan gundukan perasaan cintamu yang tak tersampaikan".
Pohon kersen hanya sanggup membuang pandang.
"Kenapa kau tak pernah bilang padanya?", tanya si parkit sahabatnya.
"Aku tak punya cukup keberanian"
"Keberanian untuk menghadapinya?" 
"Bukan. Keberanian untuk menghadapi diriku sendiri seandainya nanti aku terluka"

Ini purnama kali ketiga pohon kersen tak jumpa dengan hujannya. Bukan rindu lagi namanya. Ini derita. Sudah lama dia tidak merasa demikian tersiksa, terakhir kali adalah saat dilihatnya pemuda yang tinggal di kaki bukit pindah ke kota. 
Hujan dan ketidakhadirannya meninggalkan dahaga. Setiap petang dirapalkannya sebaris doa, meminta agar hujan kembali demi menghabisi rindunya. Namun doa itu terasa hanya menggantung di udara.
Pohon kersen merana dalam kepungan hampa.....

(disambung pada episode berikutnya ^_^)

6 komentar:

Theresia Wijayanti mengatakan...

saya setengah mati jungkir balik baca ini... bener-bener jungkir balik. sebener-benernya jungkir balik... hwaduuhhh....

Cicilia Yunilitaayu mengatakan...

ini cerita luar biasa... tisssssuuuuuuuuuuuuu

Maria Yolanda mengatakan...

terima kasih adek2ku,,,berkat kalian aku punya inspirasi untuk nulis crita mehek2 kyk gini,,trimakasih sudah mengajariku nggerus,,,hahahaha

Theresia Wijayanti mengatakan...

Saya yakin pohon kersen mampu bertahan kok. saya yakin pohon kersen tetap mampu tegap menjulang walau hujan tak kunjung bertandang...
Pohon kersen punya awan, punya si burung parkit... sahabat-sahabat yang saya yakin akan selalu menemani pohon kersen menanti hujannya. menanti hujan datang menggerus segala buncah rindu yang melingkup jiwa..

Anonim mengatakan...

beginilah klo anak2 guru bahasa indonesia berkumpul..

Maria Yolanda mengatakan...

hahahaha,,benaaarr,,,hidup Guru Bahasa Indonesia

Posting Komentar