Berbagi Gerimis

 Gerimis kecil itu telah lama reda. Kutangkupkan payung yang sedari tadi kubuka dan penggalan percakapan mendadak melintas di kepala.
 “Anak lelaki kok pakai payung?”
“Anak lelaki kalau kehujanan juga masuk angin.”
“Tapi jadi tidak terlihat macho, bung.”
“Kalau begitu, sini berpayunglah bersamaku. Agar orang-orang mengira kalau aku memakai payung demi memayungimu.”
“Cih!”
Aku mengulum senyum. Tak peduli orang menganggapku tak macho karena memakai payung tanpa kamu. Mereka tak tahu tuduhan ke’tidak-macho’an tak sebanding dengan kecewaku. Aku tak punya lagi kesempatan membagi gerimis denganmu.
“Gerimis itu menyenangkan ya?”
“Menyenangkan dari mana?”
“Satu payung berdua, berbagi rintik gerimis. Iiih..romantis…”
“Kamu memang lebay”
“Kamu memang nggak romantis.”
“Biarin.”
“Suatu saat nanti, kamu akan menyadari, kalau berbagi gerimis itu sangat menyenangkan.”
Iya. Aku memang menyadarinya kemudian. Namun sekarang, pemahaman baru datang lagi.
Berbagi gerimis tidak semenyenangkan itu. Kecuali bersamamu.


***

Semua orang punya mimpi. Benar kan? Jadi jangan salahkan aku jika aku juga punya mimpi. Meskipun mimpiku itu tentang kamu. Terlambat jika kamu bilang padaku untuk berhenti, karena itu sudah kulakukan sedari dulu, dulu sekali. Mungkin sejak kamu ulurkan tanganmu dan berkata riang, “Savana”.
Seketika itu juga aku serasa berada di padang rumput hijau nan menyejukkan mata. Dan percayalah, kamu tetap jadi padang rumputku, kapanpun itu. Sebentuk kesegaran signifikan yang bisa kuperoleh di tengah gersangnya kantor nista ini.
Sekejap kerlingan ke pojok kiri tempat kamu menatap layar komputer dengan keseriusan level karyawan teladan, sanggup membuat mata yang kram akibat terlalu lama menatap kotak-kotak excel durjana ini menjadi benderang.
“Va, kamu lihat flash diskku yang hijau itu nggak, sih?”
“Tuh, kamu tancepin di komputer kamu, Ham”
“Kok kamu tau sih, aku aja nyari dari tadi nggak lihat ada flashdisk di situ.”
“Makanya, Ham, kalau mencari sesuatu itu pakai hati. Mengandalkan mata nggak akan membuatmu menemukan yang tepat.”
“Terima kasih, Va. Tapi kamu nggak nyambung.”
Namun, kalimat tak nyambungmu itulah yang membuatku semakin giat memimpikanmu. Sejak saat itu aku memikirkanmu melampaui batas normal yang boleh dilakukan seorang teman. Jangan paksa aku menjelaskan mengapa bisa. Mungkin, seperti yang kamu bilang, karena mata hatiku sudah menemukan yang tepat. Ibarat kopi, segala hal yang ada padamu berada pada takaran yang benar. Kombinasi pahit dan manisnya pas. Apa yang terjadi pada orang-orang yang mengonsumsi kopi setiap hari? Ya, mereka kecanduan. Dan seperti itulah aku. Aku juga kecanduan kopiku. Kecanduan kamu.
“Ilham mau balik ke kantor?”
“Iya.”
“Aku nebeng, dong. Aku nggak bawa payung.”
“Kemarin ditawari sok jual mahal. Sekarang gak ditawari sok nebeng-nebeng.”
“Ya deh, gak nebeng. Aku kasih ongkosnya nanti.”
“Aku bukan ojek payung.”
“Ya ampun, ham, sharing payung aja gak mau. Pelit amat.”
“Iya, neng. Senewen amat digodain dikit aja. Jangankan berbagi payung, berbagi kehidupan denganmu aja abang mau.”
Dan kamu tertawa. Tawa lepasmu yang pertama. Yang membuatku bahkan bisa menghitung jumlah garis tawa di wajahmu karena kamu tertawa begitu lama.
“Jangan ketawa lama-lama, ah.”
“Emang kenapa, ham?”
“Ketawamu nggak enak didengar.”
Tentu saja aku bercanda. Suara tawamu sangat merdu. Mungkin kamu bisa merasa, jika kamu peka, betapa selama ini aku berusaha melakukan apa saja hanya demi bisa mendengar tawa merdumu. Dan aku mulai menghabiskan hari-hariku dengan satu cita-cita mulia. Membuatmu tertawa.
“Kalau kamu bisa membuat wanita tertawa, akan lebih mudah bagi kamu untuk membuatnya jatuh cinta”, nasehat bapakku.
“Pantas pelawak-pelawak itu istrinya banyak”, sahutku asal.
Namun tak urung aku percaya. Tawamu membangkitkan keberanianku untuk mendapatkan hatimu. Kerlingan naik kelas menjadi tatapan. Dan pertemanan biasa mengalami sedikit pergeseran ke arah yang lebih spesial, teman yang selalu ada saat dibutuhkan. Tak apa. Itu awal yang sangat baik untuk mendapatkan hatimu.
Kamu mungkin selalu awas pada orang-orang menarik di hadapanmu. Orang-orang yang bagimu mudah dijatuhi cinta. Tapi yang kamu mungkin tidak tahu adalah bahwa bahaya laten ada pada ketulusan orang yang selalu ada di sampingmu. Seperti candu, dia memerangkapmu. Menjerumuskan, menyeretmu ke dalam dimensi yang lebih berbahaya daripada cinta. Ketergantungan.
Aku adalah orang yang selalu hadir saat kau panggil. Aku adalah orang yang selalu ada saat kau butuh. Lambat laun aku adalah orang yang selalu kau tuju. Dalam hal apapun, tak terkecuali soal asmara.
Atas dasar itulah aku percaya diri saat memintamu jadi pacarku. Meski lewat beberapa kali ‘Aku sayang kamu’ dan ‘Mau nggak jadi pacarku?’, aku yakin akhirnya kamu akan setuju kalau aku tak bisa dilewatkan begitu saja. Kamu sudah terbiasa kusayangi. Jika suatu ketika aku berhenti, kamu pasti mencari-cari.
Namun ayahmu ternyata tak sependapat. Bagi beliau, pemuda sepertiku cukuplah hanya sampai strata teman biasa. Tak layak mendapat lebih. Sejenak lupa, hati putrinya punya arti jauh melebihi gengsi.
Lalu kita menjalani apa yang kawula muda bilang sebagai backstreet. Mau bagaimana lagi? Untuk melawan ayahmu aku tak punya cukup modal. Materi maupun mental. Tapi tak apalah, jalan apapun itu, asal berjalan bersamamu, aku mau.
Lalu aku menyesal karena tak memilih kalimat yang benar. Karena yang kulalui bersamamu ternyata adalah jalan buntu.

****

“Suatu saat nanti, kita akan berbagi gerimis lagi. Iya kan ham?”
Aku hanya mampu tersenyum kaku. Kupandang undangan ungu  yang ada dalam genggaman tanganku, yang nyaris kurobek menjadi serpihan kertas tak berguna. Savana & Indra. Aku mau melakukan apapun asal bisa mengganti nama lelaki itu dengan namaku.
“Maaf, Ham. Aku hanya ingin dicintai dengan berani. Bukan dengan sembunyi-sembunyi.”
Kepalaku serasa dihantam gada gatotkaca. Dan meski mulutku terbuka hendak mengucapkan pembelaan terhadap harga diri dan sisa perasaan, namun yang keluar hanyalah desah pasrah yang dengan tersirat memberitahu Sava betapa aku tak mampu berbuat apa-apa.
“Aku pergi dulu, Ham. Kalau bisa datang, ya”.
“Tentu saja…”. Tidak.
Mobil yang ditumpangi Sava bergerak dengan derum mahal. Meninggalkanku berdiri dengan wajah terguncang dan hati yang seolah baru saja terlindas roda hitam mulusnya. Remuk. Ada yang bilang, lelaki sejati tak pernah menangis. Apakah itu karena lelaki sejati tak pernah patah hati?

***

Tamu sudah tak seramai tadi. Aku, dengan kemeja batik terbaikku, menghampiri  meja  penerima tamu yang kosong.
“Mbak, nitip ini untuk Sava, ya”, kuulungkan kotak berbalut kertas kado ungu, warna favorit Sava, kepada mbak-mbak penerima tamu.
“Silakan, menulis di sini dulu, mas”, katanya sembari mengulurkan buku tamu.
“Nggak perlu mbak. Makasih, ya”, aku berjalan keluar gedung.
“Lhah, mas, kok nggak masuk?”, teriak si penerima tamu.
“Besok saja mbak, kapan-kapan”, balasku.
Kutinggalkan gedung resepsi, walau tak urung perasaan ini masih kubawa juga kemanapun aku pergi.
Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berdoa meminta hal yang tak masuk akal. Aku berharap Tuhan mau membalikkan waktu. Dan andai itu terjadi, aku berjanji, akan kuperjuangkan orang yang kucintai dengan lebih berani selayaknya pria sejati. Tapi sudahlah. Aku tahu itu percuma.
Aku menengok ke belakang, memandang bingkisan ungu yang tergolek di puncak tumpukan kado lain. Kali ini harapanku hanya supaya kau membuka dan membaca surat terkhir dariku.

Sava,
Musim penghujan menjadi suram karena gerimis yang tak lagi bisa kubagi denganmu.
Jadi aku memilih pergi. Ke tempat yang mungkin hanya mengalami hujan setahun sekali.
Saat kamu membaca surat ini,
aku mungkin sedang asik menari hula-hula
dengan gadis-gadis manis yang hanya memakai rok rumbai dan bra
*hehe, becanda.
Aku kasih kamu payung, Va.
Pakailah payung ini untuk menikmati gerimis dengan suamimu nanti,
karena tak ada hal yang lebih romantis selain berbagi gerimis.
Selamat berbahagia.
Terimakasih sudah mengijinkanku menyayangimu sedemikian lama.