Entah karena sedang musimnya atau entah karena apa, hari-hari terakhir belakangan ini saya sering 'nemu' perfect sunset tiap sore. Lalu menikmati senja pun menjadi hobi dadakan saya setiap jam 5 sore sampai saatnya matahari benar-benar tenggelam. Naik motor sendirian, pelan-pelan sepanjang jalan ke arah barat sambil nungguin matahari tenggelam, atau nangkring di jendela kamar yang kebetulan punya posisi pas untuk dapet view sunset yang sedang bagus-bagusnya. It's such a lovely thing to do for a sentimentil person like me.
Saya adalah penikmat senja. Saya ingat, hobi saya sejak kecil adalah nongkrong di atap rumah tiap sore sambil nyetel mp3 dan melihat matahari hampir tenggelam. There's a little ridiculous story about it. Suatu sore ibu saya pernah dapat telpon dari tetangga depan rumah yang isinya sebagai berikut: Bu, ada orang naik genting rumah ibu lho. Kayaknya orang gila.
Weitz, that was me! Dan saya cukup waras. Memanjat genting rumah sendiri demi menikmati senja yang adalah salah satu 'quality time' saya, tidak ada kaidah yang menyebut itu kegilaan kan?
Lalu kenapa saya bisa jatuh cinta pada senja?
Tidak tahu. Yang jelas, setiap kali melihat senja saya merasa seperti diingatkan untuk pulang.
Senja selalu bisa menjebak saya dalam sebuah dimensi rasa yang bahkan saya sendiri tidak bisa jelaskan itu apa.
(Oke, mungkin hanya orang sentimentil sejenis saya yang sanggup memahaminya)
Sayang saya buka fotografer canggih yang punya kamera bagus. Jadi, saya hanya bisa taruh gambar orang di postingan ini. Hehe. Tapi, sungguh, melihat senja yang begitu indah setiap sore membuat saya benar-benar mengagumi Tuhan. Betapa Tuhan adalah pelukis alam yang sangat handal.
Dan, sebagai penggemar senja, saya hanya mampu berharap, dimanapun saya berada, hari ini, esok atau suatu hari nanti, akan ada perfect sunset lain yang selalu bisa saya nikmati.
Sepetak jingga,
sisa hari di garis tepi cakrawala,
dan di sinilah aku duduk menikmati ujung hari
sebelum saatnya pulang ke rumah