Belajar Memeluk Bapak

“Mau ke kampus?”, Bapak bertanya.
“Ya”, aku menjawab.
“Nggak sarapan dulu?”, tanya Bapak lagi tanpa mengalihkan tatapannya dari koran yang sedang dibacanya.
“Nggak”, jawabku ringkas sambil melirik telur dadar di meja makan dan berlalu cepat-cepat.

Semacam itulah hari-hariku bersama Bapak. Begitu kaku dan membosankan. Hanya berisi tanya jawab standar, datar dan hambar.
Mungkin di kehidupan sebelumnya kami berdua adalah anjing dan kucing, dan karma ketidak-akuran masih tersisa bahkan hingga kami berdua ditakdirkan menjadi bapak beranak. Sepanjang yang kuingat, tak pernah ada masa damai. Yang ada hanyalah masa-masa gencatan senjata, masa dimana kami berdua lelah berduel dalam pertandingan yang kami buat sendiri. Jika anak-anak lelaki lain biasa pergi memancing atau menonton sepak bola bersama ayahnya, satu-satunya hal yang sering kami lakukan bersama hanyalah saling melempar kalimat-kalimat tajam. Hari-hariku dipenuhi upaya menekan emosi sementara hari-hari bapak dipenuhi suara pintu dibanting.

Kebekuan hubungan kami mencapai kulminasi ketika aku lulus SMA dan memutuskan untuk secara terbuka membelot dari titah Bapak agar aku masuk ke Fakultas Kedokteran.
“Desain Grafis?”
“Iya”
“Mau jadi tukang gambar?”
Seenaknya saja merendahkan pilihan orang.
“Kenapa nggak jadi dokter aja? Biar bisa bantu orang sakit?”
“Nggak suka. Ketemu orang sakit tiap hari itung gak enak. Lebih nyenengin ketemu orang sehat”
“Setidaknya kamu bisa nyenengin orang yang kesusahan”
“Buat apa kerja keras nyenengin orang lain kalau kita sendiri nggak seneng”, sebisa mungkin aku mengelak namun kurasa Bapak tak menangkap titik esensial dari kalimatku itu. Kebahagiaan anak mungkin lolos dari perhatiannya yang terdesak gengsi.
“Roby, anak Om Joko saja masuk kedokteran. Sekarang sudah semester enam”
Bapak akhirnya mengeluarkan jurus perbandingan. Biasanya hanya kutanggapi dengan diam, namun kali ini aku menolak untuk pasrah. Pak, data saja kalau mau dibandingan harus pakai uji statistik, apalagi ini manusia, anakmu sendiri. Aku menolak dibandingkan, mengingat  prestasi terbesarku hanyalah kemampuan menyantap ludes masakan Bapak yang rasanya kadang mirip air bekas kobokan.
Bukannya aku tidak suka menjadi dokter, setidaknya itu cita-cita naif sebagian besar anak di seluruh nusantara, tapi mungkin bapak lupa kalau menjadi dokter juga butuh modal intelegensi di atas rata-rata. Dan Bapak mungkin lebih lupa, darimana kemampuan otakku diturunkan. Alih-alih menjadikan keterbatasan intelegensi sebagai motivasi, aku menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Bapak.
“Roby kan pintar. Om Joko juga pintar, calon Profesor. Sudah dari nenek moyang mereka tuh pintarnya. Pintar kan turunan”
Sepertinya aku menekan tombol yang benar karena Bapak lantas menghela nafas panjang dan terdiam sejenak. Tapi Bapak ternyata tetap melanjutkan agresinya.
“Kamu juga bisa asal usaha. Ikut bimbingan belajar atau les kan bisa”
Kini aku yang menghela napas panjang. Aku bisa saja ikut les, bimbingan belajar,atau segala bentuk pemaksaan pada keterbatasan fungsi otak anak manusia. Namun, atas nama perlawanan terhadap penindasan kebebasan memilih, aku berkeras untuk menolak Bapak. Jika aku menuruti segala kemauan Bapak, Bapak akan terbiasa menggiringku, membuat aku jadi tempat gengsinya bertumpu.
“Aku gak mau, Pak”
“Kenapa kamu nggak pernah mau nurut?!”
“Kenapa Bapak suka memaksa?!”
Aku semacam hendak melanjutkan kalimat itu, tapi akhirnya aku menahan diri dan menelan sisanya. Kenyataan bahwa hidupku masih sepenuhnya bergantung pada Bapak membuatku diam. Namun, kenyataan bahwa aku dan Bapak hanya dipisahkan segaris silsilah tapi terasa seperti terpisah jutaan kilometer membungkamku dengan cara yang lebih menyakitkan. Bapak satu-satunya orang terdekat yang kupunya, namun kehadirannya tak pernah kurasa utuh dan nyata. Kecuali suara perintah dan komandonya.

....

Aku tak pernah masuk Fakultas Kedokteran seperti perintah Bapak dan dengan semangat pemberontakan tetap masuk sekolah tukang gambar.
“Menggambar itu suatu hal yang orang lakukan di waktu luang. Itu cuma buat hobi. Tidak bisa jadi mata pencaharian”
“Ya, suka-suka Bapak saja lah”
Demikianlah, hidup kami tak lagi bagai anjing dan kucing. Kami berdua bagai hantu bagi satu sama lain. Eksistensi kami antara ada dan tiada. Ada selapis membran semipermeabel yang membentang menjaraki kami berdua. Lembar pemisah tak kasat mata yang hanya dapat ditembus sedikit hal, seperti kalimat, “Pak, bulan depan harus bayar SPP”, atau “Uang saku kamu sudah Bapak transfer”.
Aku masih mujur karena Bapak toh tetap mau membiayai tukang gambar sekolah.
Sesungguhnya ada yang menyenangkan dari perang dingin di antara kami. Setidaknya kami jadi berhenti saling menyerang dan menyakiti hati. Namun mau tak mau aku harus menyadari, ada lubang menganga di rumah ini. Saat aku lengah, aku bisa tertelan di dalamnya. Kemanapun aku melangkahkan kaki, tak pernah aku merasa lebih kesepian daripada di tempat ini.

.....

“Baca ini Sob. Cocok buat kamu”, Bang Andre mengangsurkan selembar kertas kepadaku. Artikel yang diprint dari sebuah laman web.
“Apa ini, Bang?”
“Baca sajalah”
Sebaris kalimat yang ditandai stabilo warna merah muda menarik perhatianku.
“Sebuah pelukan hangat dapat meningkatkan rasa aman, nyaman dan saling memiliki. Rasa tersebut adalah dasar dari setiap hubungan”
“Maksudnya apa ni, Bang?
“Ini jalan keluar buat hubungan kamu dan Bapakmu yang kayak Palestina versus Israel itu. Perang nggak tamat-tamat”
“Hah?”, aku tak paham.
“Aku baca artikel ini dan langsung ingat kamu, Sob. Kalau kamu mau hubunganmu dan Bapak kamu membaik coba ikuti tips di artikel itu. Rajin-rajinlah memeluk Bapakmu”
Aku mendengus. Rajin berpelukan? Memangnya kami teletubbies?
“Bang, segala bentuk konflik yang terjadi di antara kami, itu semua Bapak yang memulai. Kalau ada yang harus memperbaiki hubungan, seharusnya itu Bapakku, Bang”
“Kamu sebagai anak mbok ya mengalah”
“Ooo...tidak bisaaa. Yang lebih tua yang seharusnya mengalah”, bantahku.
“Begini sob. Kelak kamu akan paham, bahwa umur dan mengalah tak berkorelasi secara linier. Umur hanyalah ukuran naif yang diciptakan manusia, yang selalu ingin meregresi semua hal di dunia. Yang lebih tua yang mengalah. Yang lebih muda yang dimanja. Sejatinya dunia tak berjalan dengan logika semacam itu”
Aku melongo. Kata-kata Bang Andre kucerna perlahan.
“Tapi okelah kalau kamu berpikir seperti itu. Kita pakai pendekatan terbalik”
Ngomong apa ini anak?
“Jadi, Bapak kamu memang sudah tua kan? Berapa umur Bapakmu?”
“’ma puluh”
“Umurmu?”
“Dua puluh”
“Nah, umurmu bahkan nggak ada separuhnya sob. Kamu sering bilang kamu capek menghadapi Bapak kamu. Apa kamu nggak pernah membayangkan betapa capeknya Bapakmu menghadapi kamu? Kalau kalian ini handphone, baterai Bapak kamu tinggal separuh dari punyamu. Energimu masih banyak, jadi mengalah lah”.
“Aku nggak biasa beradegan mesra begituan, Bang. Apalagi peluk-pelukan”
“Belajar lah. Mumpung masih sempat. Kalau sudah tak ada Ayah macam aku ini, menyesal tiada dua kamu nanti”.

......

Pagi itu, kuputuskan untuk mencoba saran aneh dari Bang Andre.
“Pak, pergi ke kampus dulu”, pamitku seraya menghampiri Bapak. Kikuk, aku mencoba melakukan usaha pendekapan. Kulihat Bapak kebingungan. Aku buru-buru pergi tanpa menoleh lagi.
Usaha pertama memeluk Bapak berakhir dengan aku yang menumbuk keras dada Bapak dengan dadaku. Kami, dua boneka teletubbies yang gagal.

.......

Sulit sekali memeluk lelaki tua, kaku dan keras kepala, yang setiap harinya memarahi dan menekanku di segala bidang kehidupan, - apalagi memeluk dengan penuh perasaan. Tapi aku tak bisa berhenti di tengah jalan. Misi ala Bang Andre harus sampai di tujuan.

....

Memeluk adalah perkara mudah. Gengsi lah yang membuatnya jadi susah. Kami terlalu lama berjalan sendiri-sendiri. Jurang yang terlanjur membagi dua dunia kami membuat segala wujud keakraban terasa begitu muluk. Bahkan hanya untuk memeluk. Butuh beberapa hari dan beberapa improvisasi hingga akhirnya aku bisa memeluk Bapak dengan layak dan sepantasnya. Masa bodoh walau bapak hanya berdiri kaku tanpa respon. Saraf kasih sayangnya semacam sudah putus sejak masa remajanya.

.....

Siang itu, kulihat Bapak duduk di teras belakang. Kepala Bapak tertunduk menekuni sesuatu.  Dari belakang hanya nampak punggung yang sedikit melengkung. Aku ingin segera memalingkan muka, tapi entah mengapa punggung itu terlihat begitu kesepian. Sendirian. Sebelum aku sadar sepenuhnya, aku sudah bertanya.
“Bapak sedang apa?”
Ritual peluk-memeluk itu mungkin sudah mencapai efek magisnya karena tak seperti biasanya, aku bertanya bukan untuk basa-basi. Tanyaku punya isi. Aku ingin Bapak menjawabnya. Karena itu aku tak lantas pergi. Kutunggu Bapak membuka suara.
“Handphone Bapak gak mau hidup”, Bapak menatapku dengan wajah bingung.
Kuambil ponsel dari genggamannya. Kuotak-atik sebentar.
“Ini perlu diservice, Pak. Bapak pakai handphoneku dulu saja”, kataku sambil mengulungkan smartphone milikku.
Bapak menerima dengan wajah makin bingung.
“Eh, Bapak gak bisa pakai yang beginian”, kata Bapak lirih dan malu-malu.
Teknologi berkembang terlalu cepat akhir-akhir ini. Menyisakan generasi lawas yang tak punya cukup energi terseok-seok mengejarnya. Macam lelaki tua berponsel monokrom di sampingku ini.
“Ya sudah, sini aku ajari”
Satu jam berikutnya kuhabiskan dengan mengajari Bapak menelepon dan menerima telepon, mengirim dan menerima sms, memutar musik, bahkan selfie. Beberapa kali diselingi gerutuan dan komentar gemas karena Bapak susah sekali paham dan mudah lupa. Ah, Bapakku memang sudah tua.
“Bapak jadi ingat, jaman kamu SD dulu, bapak yang mengajari kamu main tetris dan nitendo. Tapi kamu nggak se’lemot dan sepikun bapak. Hahahaha...”, lalu Bapak tertawa. Renyah sekali. Tawa yang tak pernah kudengar sejak sangat lama.
Aku kehilangan ibuku beberapa tahun lalu. Tapi aku kehilangan bapakku jauh lebih lama daripada itu. Dan tawa tadi, tawa tadi membuatku menemukannya kembali.

.....

“Pak, aku berangkat kuliah”, aku menghampiri Bapak dan bersiap melakukan jurus memeluk yang sudah mulai mengalami kemajuan. Namun, sebelum aku sempat meraih Bapak, kurasakan lengan Bapak melingkari bahuku. Bapak memelukku. Erat sekali. Dan lama.
Ada sesuatu dalam pelukan Bapak yang membuatku enggan melepasnya. Bapak berbau masa lalu. Wangi bapak adalah campuran sabun yang sudah kami pakai sejak aku balita dan minyak rambut Bapak yang hanya bisa didapat di toko-toko kelontong cina yang tetap buka karena tuntutan tradisi turun-temurun semata. Wangi yang mengingatkanku pada hari-hari yang telah lalu. Hari-hari saat Bapak menggendongku di punggungnya. Saat Bapak memboncengkanku di motor kreditnya, saat Bapak mengajariku naik sepeda, saat Bapak membantuku mengerjakan PR matematika. Hari-hari saat kami masih bersahabat. Dan aku menyadari sesuatu. Aku rindu Bapakku. Rindu sekali.
Kulepaskan pelukanku dan cepat memalingkan wajah sambil berujar lirih, “Pergi dulu ya, Pak”.
Tak kuijinkan Bapak memergoki air mata yang terperangkap hendak membobol bendungannya.
Tepat di pelukan Bapak tadi, aku menyadari, kami berdua sepertinya lupa bahwa sesungguhnya kami saling menyayangi.

.....

Mungkin Bang Andre dan artikel itu aneh. Tapi apapun itu, mereka benar. Pelukan menyelamatkan hubungan kami. Bapak berhutang banyak pelukan kepadaku, dan kini sepertinya berniat melunasinya. Kini kami berdua tak lagi seperti anjing dan kucing. Kami adalah teman yang saling belajar menemukan kembali kesejatian kasih dan sayang yang digariskan atas kami. Tak pernah kusangka sebelumnya, hingga hari ini, pelajaran paling berharga yang pernah kudapat adalah belajar memeluk Bapak.




Gincu Merah Jambu

Dia selalu bilang namanya Dila. Pada kawan-kawan dan kenalannya, pembeli gado-gado Mak Pon, penumpang ojek Bang Tedi, juga orang lewat yang iseng menanyakan namanya, dia selalu bilang namanya Dila. Hanya padaku dia berpesan, “Panggil aku Yung”.
Saat kutanyai dia, “Nama lengkapmu Dilayung?”, dia hanya menyahut singkat, “Iye”.
Jadilah aku memanggilnya Yung. Kucoba sekali waktu memanggilnya Dila, dia cubit pahaku hingga membiru. Sejak saat itu, tak pernah lagi kupanggil dia selain dengan panggilan yang dimintanya.
Yung datang ke tempat ini beberapa tahun lalu, di suatu subuh yang basah karena sisa hujan semalaman. Bawaannya hanya satu tas jinjing dan kardus berisi keripik tempe yang ternyata melempem.
“Rohimah yang bawain. Udah pikun atau pelit, kagak ngarti gue. Keripik melempem aja dia kasih”, katanya dengan gaya Betawi bercengkok Jawa kental sekali.
Mak Pon hanya menoyor kepalanya tanpa bicara sepatah kata dan menyuruhku membawakan tasnya ke kamar yang dikontraknya.
“Taruh situ aja tasnya. Nih, buat kamu”, Yung menyelipkan selembar dua puluh ribuan ke dalam genggaman tanganku.
“Makasih”, kataku pelan sambil menatapnya hati-hati. Sedikit terbius wewangian yang tajam menghujam indra penciumanku. Kurasa dia mandi minyak wangi.
Yung tersenyum. Bibirnya yang berwarna merah jambu membentuk lengkung samar namun ketulusannya jelas terbaca olehku.
“Nok, kamu cantik”, katanya pelan sambil menatap wajahku lama. Sedikit terlalu lama.
“Namaku kan bukan Nok”, protesku.
“Suka-suka gue, toh. Sono mandi lu, siap-siap sekolah”, Yung merebahkan diri di kasur. Rok yang dipakainya tersibak. Celana dalam merah berenda pun tampaklah.

***

Yung punya pekerjaan. Mungkin dia wanita karier. Kadang dia pergi seharian. Kadang pergi pagi pulang malam, atau pergi malam pulang pagi. Kadang sama sekali tak pergi-pergi. Meskipun aku tak tahu macam apa pekerjaannya, Yung sepertinya punya banyak uang.
“Duit sekolah lu, duit jajan lu, duit baju lu, duit makan lu, si Dile nyang kasih”, demikian warta dari Mak Pon. Dalam hati aku berujar, “Baik amat itu orang”. Tapi Yung memang asli baik hati. Setidaknya kepadaku.
Mungkin gaji Yung berlipat kali lebih banyak dari yang didapat Mak Pon dengan berjualan gado-gado, karena setelah semua ‘duit’ yang dia keluarkan untukku, Yung masih sering menyelipkan lembaran lima atau sepuluh ribuan sambil berbisik, “Buat beli coklat”. Atau tak jarang, “Buat beli pembalut”. Aku bahkan belum menstruasi.
Anak yang tak pernah mendapat pemberian mewah macam itu -kecuali es krim dua ribuan yang kadang-kadang dibelikan Bang Tedi atas konsistensiku memanggilnya bukan dengan nama sah yang tertera di akte, Sutejo- segera saja menjadikan Yung sebagai idola. Segala gerak-gerik Yung kuamati. Kupelajari.

“Bang, Yung itu kerjaannya apa?”, suatu ketika kutanyakan hal itu pada Bang Tedi.
“Penggembira”, jawabnya.
“Kerjaan macam apaan tuh, bang?”
“Yaa, yang bisa bikin orang-orang bergembira”
“Gundik”, sahut Mpok Ipeh
“Hush, ngawur lu”, sergah Bang Tedi sambil melotot ke arah Mpok Ipeh.
“Kagaaak..., maksud gue si Dile pan punye penyakit gundik tuh?”, Mpok Ipeh melirik ke arahku.
“Penyakit kulit itu, Mpok? Itu gudik kali Mpok”, sahutku.


****

Yung cinta mati pada kopi. Kalau sehari tak minum kopi, Yung bisa senewen setengah mati.
“Ah elu, Dil, itu mah bukan kopi namanya. Cuma tepung ditambah gula, susu sama rasa-rasa kopi dikit”.
“Berisik!”, hanya itu tanggapan Yung tiap kali Bang Tedi mengejek kopi instan sachet kegemarannya.

Kalau ada hal lain yang tak bisa ditinggalkan Yung selain kopi, itu pastilah gincunya. Gincu merah jambu yang selalu disembunyikannya di balik BH. Meski selalu disimpan di lipatan tubuhnya, gincu itu hanya dipakai di masa dinasnya. Saat dia memakai terusan bunga-bunga ungu yang memamerkan lekuk tubuhnya, atau celana jeans yang dikancingkannya dengan susah payah saking ketatnya. Saat Yung hanya berbalut daster batik gombrong dengan rambut di roll, bibirnya merdeka.

“Mpok, yang sering diselip-selipin Yung di sininya itu apa sih?”, tanyaku suatu waktu pada Mpok Ipeh sambil menunjuk bagian dada.
“Ooh, itu namanya gincu. Lu tau kagak? Itu yang dioles di bibir biar warna-warni gitu”, jawab Mpok Ipeh.
Aku mengangguk.
“Kenapa harus disimpen di situ sih? Kenapa nggak disimpen di tas aja ya Mpok?”
“Takut ilang. Itu barang mahal”
Berapa ya, harga sebuah gincu?
“Eh, lu tau gak?”, Mpok Ipeh beringsut mendekatiku dan menatapku dengan tatapan bersekongkol.
“Tau apa Mpok?”
“Lu tau kagak, kenapa si Dila tu bisa bikin orang-orang gembira kayak yang Tejo bilang?”
“Kagak, Mpok”, aku menggeleng.
“Gincu itu, noh”, Mpok Ipeh mengulum senyum, “Gincu itu susuknya”
“Hah? Apa tu susuk?”
“Senjata. Itu barang senjata dia”
“Senjata? Gimana cara pakainya? Buat corat-coret muka orang terus orang itu jadi gembira, gitu?”
“Bego, lu. Ya dia tinggal pakai aja di bibirnya”
“Masa gitu aja bikin gembira, Mpok?”
“Yailah...kagak percaya ni anak. Lu coba aja sendiri sono. Lu ambil tu gincu, terus lu pakai, lu simpen di BH juga”
“Yah, kan belum pakai BH, Mpok”
“Suka-suka elu dah mau lu simpen dimana. Coba aja deh, nanti pasti banyak orang yang gembira. Temen lu, guru lu”
“Dia gak bakal marah ya kalau gincunya diambil?”, tanyaku.
“Kagak. Kagak bakalan marah dia”, tutup Mpok Ipeh.

Lalu, suatu pagi ketika Yung mandi, aku mengendap-endap masuk kamarnya. Gincu yang biasanya tersimpan aman di dadanya kini tergeletak di atas meja rias. Tak ada yang istimewa dari gincu itu. Meskipun aku tak paham dunia pergincuan, tapi aku sempat mengira gincu milik Yung sangat luar biasa. Kukira wadahnya bersepuh emas, tutupnya dihiasi mutiara asli –kalung Mpok Ipeh mutiaranya palsu menurut Bang Tedi-, atau paling tidak bentuknya indah. Tapi gincu itu nampak terlalu biasa saja untuk suatu hal yang kata orang bisa membuat orang lain gembira. Kusambar benda itu dan secepat mungkin keluar kamar. Aku serius saat aku berkata belum pakai BH, jadi kuselipkan saja benda itu di kolor celana.

Mpok Ipeh benar. Yung tak marah saat tahu gincunya kuambil dan kupakai. Dia mengamuk.
Semula dia panik bukan kepalang mendapati senjatanya tak lagi tergeletak di tempat semula. Heboh, dia obrak-abrik isi kamar sambil mengomel.
“Lu lupa naruhnye kali”, kata Mak Pon.
“Tadi di meja ini, maaak. Yakin!”, Yung berseru gusar.
Yung sepertinya melihat sekelebat bayanganku yang beringsut hendak kabur dari rumah.
“Nok, sini! Bantuin cari barang gue!”, serunya ke arahku.
Aku menghampirinya sambil tertunduk.
Rupanya aku menunduk kurang dalam. Atau terlalu tebal gincu yang kusapukan di bibirku karena Yung mendadak berujar tajam. Dia menyadari bibirku lebih merah dari yang seharusnya.
“Angkat kepalamu”, perintahnya.
Takut-takut aku mengangkat kepala, tak berani menatap wajahnya.
“Kamu. Yang. Ambil. Lipstikku?”, kata-katanya keluar satu-satu. Mungkin saking marahnya.
Aku mengangguk perlahan. Kusodorkan gincu itu.
“Lalu. Kamu. Pakai. Ini?”
Aku mengangguk sekali lagi.
“PLAK!”
Aku tak tahu, mana yang lebih membekas di ingatanku. Tamparan Yung atau ekspresi wajahnya. Selama sekian detik, aku merasa melihat kengerian menjalar dari matanya. Ekspresi itu menggilas pertahananku sebelum akhirnya semburat merah menjalar di wajahnya, membuat rasa ngeri yang sempat kutangkap berubah menjadi berang. Yung mencak-mencak dan aku sibuk menahan isak.


***

“Masih sakit?”, tanya Yung. Nadanya kembali normal.
Aku diam saja. Tapi plastik berisi es lilin yang hampir lumer yang masih kutempelkan di pipi kiriku seharusnya sudah memberitahu.
“Kenapa kamu ambil tu lipstik?”
Aku masih diam. Takut salah dan kembali kena gampar.
“Siapa yang nyuruh?”
Setelah sekian detik terjebak sunyi aku akhirnya angkat suara.
“Kata Mpok Ipeh, lipstik itu bisa bikin orang yang lihat gembira. Makanya Yung punya banyak duit karena bisa bikin orang gembira”
Ada suara nafas yang sepertinya dihela dengan susah payah.
“Aku pengin kerja kayak gitu. Punya banyak duit dan bisa nyenengin banyak orang”
Kulirik Yung dengan ekor mata. Dia mendongak menatap langit siang yang menyilaukan. Bibirnya nampak pucat dengan warna aslinya.
“Aku pengin kamu kerja buat nyenengin diri kamu sendiri. Jangan bekerja buat nyenengin orang lain, apalagi orang lain yang nggak kamu kenal. Aku pengin kamu kerja yang nggak perlu pakai bedak atau lipstik. Jadi guru, buka jahitan di rumah, atau bikin-bikin kue kering. Duit nggak banyak ya nggak masalah. Banyak hal yang duit nggak bisa beli”.

Aku menoleh memandang Yung. Memastikan itu benar dia, bukan jelmaan Mama Dedeh yang tiap pagi memberi kultum di televisi.
“Hidup buat orang seperti kita ini mungkin bakalan susah, tapi jalan kamu jangan sampai salah”
“Jalan yang salah itu yang seperti apa, Yung?, tanyaku.
“Kalau kamu sudah gede nanti, kamu pasti ngerti”, ujarnya sambil beranjak pergi tanpa menatapku lagi.
Keesokkan harinya, kulihat Mpok Ipeh sibuk mengompres pipi kirinya dengan es.

***

Hidup kembali berjalan normal setelah kasus pengambilan gincu tanpa ijin ditutup. Yung masih sering terlihat pergi bekerja menggembirakan orang pada waktu-waktu yang tak tentu. Gincu merah jambu itu sepertinya masih setia berdiam di balik bra.
Lalu, di suatu hari yang kulupa tepatnya kapan, Yung berangkat kerja dan tak kembali pulang. Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan atau setidaknya berjabat tangan. Yung pergi saat aku tak di rumah. Kurasa dia sengaja.
“Dila nitip pesan buat kamu. Dia bilang kamu harus sekolah yang rajin. Besok jadi bu guru. Kerja yang bener. Jangan sampai kayak dia”, kata Bang Tedi beberapa hari setelah Yung pergi.
“Dila juga nitip ini”, Bang Tedi mengangsurkan sebuah kotak bekas bungkus kopi instan yang dilapisi kertas kado.
“Apa ini bang?”
“Mana kutahu”

Kubuka kotak itu.
Benda yang membuatku penasaran hingga berujung kena tampar tergolek di dalamnya. Kuambil gincu merah jambu Yung dan baru kali itu aku bisa mengamatinya dengan seksama. Wadahnya yang sewarna dengan bibir Yung mengingatkanku akan senyumnya yang mudah dirindukan. Kubuka tutupnya dan kudapati wadah itu kosonng. Gincunya telah habis.
“Kenapa ini dikasih ke aku, bang? Isinya sudah habis”
Bang Tedi hanya mengendikkan bahu.
“Kamu pakai buat bandul kalung aja. Keren kayaknya”, celetuk Bang Tedi.

Saat kubolak-balik benda itu, ada yang terjatuh dari dalamnya. Yung rupanya memasukkan sesuatu yang tadi tak terlihat olehku. Kupungut benda itu. Seutas kalung. Emas. Ada secarik kertas direkatkan dengan lem di liontinnya yang berbentuk bulatan mungil. Kubaca sebaris tulisan tegak bersambung tak rapi yang tertera di sana.
“Untuk adek tersayangku, jaga diri baik-baik ya, Nok”

Ah, mendadak aku rindu senyum dari bibir bergincu merah jambu itu...


Mak Wati Menanti

Tak banyak orang paham bagaimana matahari tenggelam. Tak banyak yang tahu bagaimana ia menghilang. Tapi Mak Wati tahu itu. Dia paham. Mak Wati mengamati setiap perubahan kuning ke jingga lalu ke merah muda dan violet hingga menjadi ungu kelam yang matahari alami sebelum akhirnya tak tersisa jejaknya di batas cakrawala. Mak Wati menunggui momen yang orang pandang sekilas atau bahkan sama sekali tak diacuhkan.
Mak Wati tak tahu kapan petang datang di tempat lain. Tapi di sini, petang datang ketika Irul, sopir angkot yang biasanya mengantar penumpang paling penghabisan dari arah kota, tersenyum maklum ke arahnya sambil menggelengkan kepala pelan. Petang datang ketika Mak Wati sekali lagi berjalan terseok melewati jalanan berkerikil dengan penerangan yang tersisa dari lampu PJU yang dipasang di perempatan jalan, sendirian.

Bagi Mak Wati, matahari tenggelam dan petang adalah sejoli pemupus harapan. Kode semesta yang menginstruksikan agar dia pulang. Mengusaikan penantian yang berbulan-bulan dilakukannya dengen presensi maksimal, utuh tanpa bolong sekali pun.


***

“Halo, Mak, gek apa?”
“Hayo gek telponan karo kowe ta?”
“Hayo sakdurunge tak telpon kuwi lagi apa, mak?”
“Marut telo, arep gawe pothil aku?”
“Mak, aku sesuk sore mulih”
“Tenane? Jam piro? Tak pethuk nang prapatan yo”


***

“Ti, kok rung bali to?”, Yu Nah, penjual mie ayam di perempatan jalan itu menegurnya.
Mak Wati menggeleng pelan.
“Nunggu sapa?”
“Yo nunggu Win, to”, jawabnya.
“Wis meh maghrib, balio sik wae. Mengko lak iso bali dewe to anakmu”, Yu Nah berujar lambat-lambat sambil menuang saos merah merona ke atas gundukan mie dan sawi.
“Aku wis ngomong muni arep methuk ki”
Lalu Mak Wati kembali menanti. Sesekali diusapnya kening yang berhias keringat dengan ujung jilbabnya.


***

Suaminya sudah lama mati. Saat Windarti, anak satu-satunya, masih balita. Sejak saat itu Mak Wati menjalani kehidupan monosentris. Segalanya berpusat pada Win. Mulai dari membuat pothil, camilan kering dari singkong, hingga menjadi buruh tani saat musim tanam dan panen padi tiba, dilakukannya demi menghidupi Win. Adalah hal yang sangat sulit bagi Mak Wati, ketika di usia Win yang setara dengan remaja lulus SMA –Ya, setara. Win tak pernah bisa tamat SMA. Tabungan emaknya tak cukup menyokong biayanya hingga lulus – Win memutuskan ikut tetangga yang mengajaknya pergi ke Jakarta. Mengadu nasib di Ibu Kota. Mak Wati tak pernah sekolah. Tapi dia tak sebegitu bodohnya hingga tak menyadari, tak banyak yang bisa dilakukan remaja lulusan SMP di kota sebesar Jakarta. Mentok jadi pembantu rumah tangga.
“Mbok rasah lunga, Win. Nang kene wae ngancani mak’e”
“Nek nang kene terus, aku ra entuk pengalaman, mak”
“Pengalaman apa? Palingo nang kono kowe mung dadi rewang. Nang kene wae, ngrewangi marut telo po ani-ani”
Namun, tak urung Mak Wati melepasnya juga.
“Ati-ati nang Jakarta. Ora sah macem-macem. Mulih nek duitmu wis klumpuk akeh wae”, demikian pesan singkat Mak Wati untuk anak yang selama 17 tahun tak pernah lepas dari pandangannya lebih dari 1x24 jam.
Pohon rambutan binjai sedang berbuah lebat saat Win berangkat.
Dan ini sudah kali kedua anak-anak kecil rajin bersorak sorai di samping rumah Mak Wati, merayakan keberhasilan beberapa dari mereka meraih buah-buah rambutan binjai yang memerah. Kali kedua pula Win tak ikut menikmati buah yang pohonnya dia tanam sendiri. Windarti belum juga kembali.

***

Bukan hal aneh bagi Yu Nah, melihat Mak Wati duduk di kursi bambu depan warung mie ayamnya setiap sore. Matanya nanar memandang ke arah barat. Terbagi antara menatap matahari yang beranjak tenggelam atau mengamati tikungan di ujung jalan, di mana sewaktu-waktu angkot ungu itu nampak melaju. Adalah hal lumrah bagi Irul dan sopir-sopir angkot lain, yang hampir setiap sore selalu mendapat pertanyaan serupa, “Win, ora nunut kowe yo?”, yang biasanya mendapat jawaban, “Ora je, Yu”, atau hanya sekedar gelengan kepala dan senyum mafhum.
Ribuan panggilan telefon hanya dibalas suara wanita tak dikenal. Puluhan surat tak pernah ada balasan. Karena Win sudah berkata akan pulang, Mak Wati tak punya pilihan selain menunggunya datang.
“Saya sudah cari di kosnya, di tempat kerjanya, tapi nggak ketemu Windarti, Mak Wati”, begitu kata Wisnu, cucu Yu Nah yang tinggal di Jakarta.
Kala itu, Mak Wati hanya mampu menanggapi dengan kucuran air mata. Tak punya daya selain untuk bertanya-tanya.
Windarti adalah porosnya. Pusat gravitasi yang menjaganya tetap mengorbit pada tempat yang semestinya. Kehilangannya berarti bencana.
Semestanya tercerai berai.

***

Sore itu hujan. Tak ada adegan matahari tenggelam yang menemani. Langit menggelap terlampau cepat, bahkan ketika angkot ungu terakhir belum tiba di ujung desa.
Mak Wati masih menanti.
Yu Nah berhenti sejenak dari kesibukannya di depan gerobak mie, menghampiri wanita itu dan bertanya hati-hati.
“Ti, kowe arep nunggu anakmu tekan kapan?”
Sungguh retoris. Apakah menanti punya batas waktu tertentu? Percakapan resiprokal mereka terhenti belasan bulan yang lalu. Tak ada kabar satupun dari Win setelah telefon terakhir ditutup kala itu. Namun ibu tetaplah ibu. Merekalah yang paling teruji dalam hal menanti.
Nganti Win bali, Yu”, hanya itu jawabannya.
Mak Wati terdiam, dibungkam suara rintik hujan.
Sayup-sayup didengarnya azan dari kejauhan. Sebuah panggilan yang masuk merasuk di sela-sela rasa yang saling silang bertabrakan. Resah, gelisah, putus asa, takut, kalut, secuil harap. Suara itu merangkum, menjadikannya satu. Suatu kesimpulan ringkas yang paling mudah dipahaminya tanpa pretensi.
Yu Nah, aku tak nang mesjid sik yo

Di ujung barisan paling belakang, seorang wanita bersujud khusyuk. Dalam tiap patah doa yang terucap, kepasrahannya tumpah. Ketabahannya telah melampaui jatah, mewujud lewat butiran air mata yang membasahi sajadah.

***


Pohon rambutan binjai sudah berbuah lagi. Mak Wati masih setia menanti di kursi bambu depan warung mie ayam di waktu-waktu matahari bersiap tenggelam. Senja telah jadi teman setia dan petang yang datang tetap menjadi bel pulang. Tak perlu lagi pertanyaan. Karena menanti adalah satu-satunya jawaban. Ditahannya harapan agar jangan sampai berlalu. Namun, hingga petang tiba menyuruhnya pulang, Windarti tak pernah turun dari angkot ungu itu.

Berbagi Gerimis

 Gerimis kecil itu telah lama reda. Kutangkupkan payung yang sedari tadi kubuka dan penggalan percakapan mendadak melintas di kepala.
 “Anak lelaki kok pakai payung?”
“Anak lelaki kalau kehujanan juga masuk angin.”
“Tapi jadi tidak terlihat macho, bung.”
“Kalau begitu, sini berpayunglah bersamaku. Agar orang-orang mengira kalau aku memakai payung demi memayungimu.”
“Cih!”
Aku mengulum senyum. Tak peduli orang menganggapku tak macho karena memakai payung tanpa kamu. Mereka tak tahu tuduhan ke’tidak-macho’an tak sebanding dengan kecewaku. Aku tak punya lagi kesempatan membagi gerimis denganmu.
“Gerimis itu menyenangkan ya?”
“Menyenangkan dari mana?”
“Satu payung berdua, berbagi rintik gerimis. Iiih..romantis…”
“Kamu memang lebay”
“Kamu memang nggak romantis.”
“Biarin.”
“Suatu saat nanti, kamu akan menyadari, kalau berbagi gerimis itu sangat menyenangkan.”
Iya. Aku memang menyadarinya kemudian. Namun sekarang, pemahaman baru datang lagi.
Berbagi gerimis tidak semenyenangkan itu. Kecuali bersamamu.


***

Semua orang punya mimpi. Benar kan? Jadi jangan salahkan aku jika aku juga punya mimpi. Meskipun mimpiku itu tentang kamu. Terlambat jika kamu bilang padaku untuk berhenti, karena itu sudah kulakukan sedari dulu, dulu sekali. Mungkin sejak kamu ulurkan tanganmu dan berkata riang, “Savana”.
Seketika itu juga aku serasa berada di padang rumput hijau nan menyejukkan mata. Dan percayalah, kamu tetap jadi padang rumputku, kapanpun itu. Sebentuk kesegaran signifikan yang bisa kuperoleh di tengah gersangnya kantor nista ini.
Sekejap kerlingan ke pojok kiri tempat kamu menatap layar komputer dengan keseriusan level karyawan teladan, sanggup membuat mata yang kram akibat terlalu lama menatap kotak-kotak excel durjana ini menjadi benderang.
“Va, kamu lihat flash diskku yang hijau itu nggak, sih?”
“Tuh, kamu tancepin di komputer kamu, Ham”
“Kok kamu tau sih, aku aja nyari dari tadi nggak lihat ada flashdisk di situ.”
“Makanya, Ham, kalau mencari sesuatu itu pakai hati. Mengandalkan mata nggak akan membuatmu menemukan yang tepat.”
“Terima kasih, Va. Tapi kamu nggak nyambung.”
Namun, kalimat tak nyambungmu itulah yang membuatku semakin giat memimpikanmu. Sejak saat itu aku memikirkanmu melampaui batas normal yang boleh dilakukan seorang teman. Jangan paksa aku menjelaskan mengapa bisa. Mungkin, seperti yang kamu bilang, karena mata hatiku sudah menemukan yang tepat. Ibarat kopi, segala hal yang ada padamu berada pada takaran yang benar. Kombinasi pahit dan manisnya pas. Apa yang terjadi pada orang-orang yang mengonsumsi kopi setiap hari? Ya, mereka kecanduan. Dan seperti itulah aku. Aku juga kecanduan kopiku. Kecanduan kamu.
“Ilham mau balik ke kantor?”
“Iya.”
“Aku nebeng, dong. Aku nggak bawa payung.”
“Kemarin ditawari sok jual mahal. Sekarang gak ditawari sok nebeng-nebeng.”
“Ya deh, gak nebeng. Aku kasih ongkosnya nanti.”
“Aku bukan ojek payung.”
“Ya ampun, ham, sharing payung aja gak mau. Pelit amat.”
“Iya, neng. Senewen amat digodain dikit aja. Jangankan berbagi payung, berbagi kehidupan denganmu aja abang mau.”
Dan kamu tertawa. Tawa lepasmu yang pertama. Yang membuatku bahkan bisa menghitung jumlah garis tawa di wajahmu karena kamu tertawa begitu lama.
“Jangan ketawa lama-lama, ah.”
“Emang kenapa, ham?”
“Ketawamu nggak enak didengar.”
Tentu saja aku bercanda. Suara tawamu sangat merdu. Mungkin kamu bisa merasa, jika kamu peka, betapa selama ini aku berusaha melakukan apa saja hanya demi bisa mendengar tawa merdumu. Dan aku mulai menghabiskan hari-hariku dengan satu cita-cita mulia. Membuatmu tertawa.
“Kalau kamu bisa membuat wanita tertawa, akan lebih mudah bagi kamu untuk membuatnya jatuh cinta”, nasehat bapakku.
“Pantas pelawak-pelawak itu istrinya banyak”, sahutku asal.
Namun tak urung aku percaya. Tawamu membangkitkan keberanianku untuk mendapatkan hatimu. Kerlingan naik kelas menjadi tatapan. Dan pertemanan biasa mengalami sedikit pergeseran ke arah yang lebih spesial, teman yang selalu ada saat dibutuhkan. Tak apa. Itu awal yang sangat baik untuk mendapatkan hatimu.
Kamu mungkin selalu awas pada orang-orang menarik di hadapanmu. Orang-orang yang bagimu mudah dijatuhi cinta. Tapi yang kamu mungkin tidak tahu adalah bahwa bahaya laten ada pada ketulusan orang yang selalu ada di sampingmu. Seperti candu, dia memerangkapmu. Menjerumuskan, menyeretmu ke dalam dimensi yang lebih berbahaya daripada cinta. Ketergantungan.
Aku adalah orang yang selalu hadir saat kau panggil. Aku adalah orang yang selalu ada saat kau butuh. Lambat laun aku adalah orang yang selalu kau tuju. Dalam hal apapun, tak terkecuali soal asmara.
Atas dasar itulah aku percaya diri saat memintamu jadi pacarku. Meski lewat beberapa kali ‘Aku sayang kamu’ dan ‘Mau nggak jadi pacarku?’, aku yakin akhirnya kamu akan setuju kalau aku tak bisa dilewatkan begitu saja. Kamu sudah terbiasa kusayangi. Jika suatu ketika aku berhenti, kamu pasti mencari-cari.
Namun ayahmu ternyata tak sependapat. Bagi beliau, pemuda sepertiku cukuplah hanya sampai strata teman biasa. Tak layak mendapat lebih. Sejenak lupa, hati putrinya punya arti jauh melebihi gengsi.
Lalu kita menjalani apa yang kawula muda bilang sebagai backstreet. Mau bagaimana lagi? Untuk melawan ayahmu aku tak punya cukup modal. Materi maupun mental. Tapi tak apalah, jalan apapun itu, asal berjalan bersamamu, aku mau.
Lalu aku menyesal karena tak memilih kalimat yang benar. Karena yang kulalui bersamamu ternyata adalah jalan buntu.

****

“Suatu saat nanti, kita akan berbagi gerimis lagi. Iya kan ham?”
Aku hanya mampu tersenyum kaku. Kupandang undangan ungu  yang ada dalam genggaman tanganku, yang nyaris kurobek menjadi serpihan kertas tak berguna. Savana & Indra. Aku mau melakukan apapun asal bisa mengganti nama lelaki itu dengan namaku.
“Maaf, Ham. Aku hanya ingin dicintai dengan berani. Bukan dengan sembunyi-sembunyi.”
Kepalaku serasa dihantam gada gatotkaca. Dan meski mulutku terbuka hendak mengucapkan pembelaan terhadap harga diri dan sisa perasaan, namun yang keluar hanyalah desah pasrah yang dengan tersirat memberitahu Sava betapa aku tak mampu berbuat apa-apa.
“Aku pergi dulu, Ham. Kalau bisa datang, ya”.
“Tentu saja…”. Tidak.
Mobil yang ditumpangi Sava bergerak dengan derum mahal. Meninggalkanku berdiri dengan wajah terguncang dan hati yang seolah baru saja terlindas roda hitam mulusnya. Remuk. Ada yang bilang, lelaki sejati tak pernah menangis. Apakah itu karena lelaki sejati tak pernah patah hati?

***

Tamu sudah tak seramai tadi. Aku, dengan kemeja batik terbaikku, menghampiri  meja  penerima tamu yang kosong.
“Mbak, nitip ini untuk Sava, ya”, kuulungkan kotak berbalut kertas kado ungu, warna favorit Sava, kepada mbak-mbak penerima tamu.
“Silakan, menulis di sini dulu, mas”, katanya sembari mengulurkan buku tamu.
“Nggak perlu mbak. Makasih, ya”, aku berjalan keluar gedung.
“Lhah, mas, kok nggak masuk?”, teriak si penerima tamu.
“Besok saja mbak, kapan-kapan”, balasku.
Kutinggalkan gedung resepsi, walau tak urung perasaan ini masih kubawa juga kemanapun aku pergi.
Siang itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berdoa meminta hal yang tak masuk akal. Aku berharap Tuhan mau membalikkan waktu. Dan andai itu terjadi, aku berjanji, akan kuperjuangkan orang yang kucintai dengan lebih berani selayaknya pria sejati. Tapi sudahlah. Aku tahu itu percuma.
Aku menengok ke belakang, memandang bingkisan ungu yang tergolek di puncak tumpukan kado lain. Kali ini harapanku hanya supaya kau membuka dan membaca surat terkhir dariku.

Sava,
Musim penghujan menjadi suram karena gerimis yang tak lagi bisa kubagi denganmu.
Jadi aku memilih pergi. Ke tempat yang mungkin hanya mengalami hujan setahun sekali.
Saat kamu membaca surat ini,
aku mungkin sedang asik menari hula-hula
dengan gadis-gadis manis yang hanya memakai rok rumbai dan bra
*hehe, becanda.
Aku kasih kamu payung, Va.
Pakailah payung ini untuk menikmati gerimis dengan suamimu nanti,
karena tak ada hal yang lebih romantis selain berbagi gerimis.
Selamat berbahagia.
Terimakasih sudah mengijinkanku menyayangimu sedemikian lama.

SERENADE


Ada seorang pemuda, yang selalu datang ke tempat ini seusai senja. Bahu kirinya memanggul gitar tua peninggalan ayahnya yang mati muda dan sebuket kembang dahlia digenggam di tangan lainnya. Pemuda itu akan duduk di tempat kesukaannya, di bawah rerimbunan pohon akasia dekat dengan semak palma. Dia duduk sabar menunggu, hingga mendengar lonceng angelus berdentang dari kejauhan. Saat itulah dia berdiri, mendongak menatap sebentuk jendela tertutup di lantai dua.

Sesaat setelah lonceng angelus tak lagi terdengar, daun jendela di lantai dua itu mengayun terbuka. Bagai sebuah pentas drama, bingkai jendela itu adalah panggung pertunjukkannya. Lampu benderang menyorot dari dalam ruangan dan menghasilkan sepetak cahaya di rerumputan. Lelaki itu lalu berdiri tepat di dalam petak cahaya dengan gitar dalam pelukan. Tirai tipis biru muda melambai, lalu bintang utama pun muncul lah.

Wanita muda itu bersandar di kusen jendela kamarnya. Angin petang yang menggigilkan berhembus menyibak tirai yang tak tertutup sempurna. Di waktu-waktu inilah, pemuda itu datang. Berdiri di bawah jendela kamar. Dengan maksud dan tujuan yang tak pernah disampaikan. Namun, entah mengapa kehadiran pemuda itu begitu dia tunggu. Begitu dia rindu. Disibakkannya tirai biru muda hingga terbuka, lalu mulailah pemuda itu memetik gitarnya.

Tirai yang terbuka bagai instruksi tanpa kata bagi si pemuda. Dari gitar yang disandangnya mengalunlah nada-nada indah. Angin menerbangkannya hingga lantai dua dan disampaikan sebagai rangkaian kalimat memuja. Sebongkah harapan menggumpal dalam hatinya. Semoga saja sang gadis pujaan suka.

Gadis itu memejamkan mata. Meresapi setiap nada, seolah itu adalah rayuan yang melelehkannya. Ya, dia meleleh karena sebaris melodi. Yang dimainkan pemuda yang bahkan tak pernah didengarnya bersuara. Apalagi berteriak memanggil namanya. Akan tetapi, wanita yang sudah terlalu muak dengan rayuan semu lelaki pasti mengerti. Nada-nada indah itu tak pernah berucap kepalsuan. Semua yang didengarnya tulus dan tak menuntut. Labuhan pamungkas, tempatnya berlabuh tanpa perlu was-was.

Petikan gitar itu berhenti. Sang pemuda menatap gadis di atas sana seakan berkata, sekian. Senyum lebar mengusaikan rayuan dalam nadanya hari ini. Hanya itu yang sanggup dilakukannya dalam nama ketidaksempurnaan. Dia tahu dia takkan sanggup menawarkan kata-kata. Namun dia juga tahu, musik tak pernah gagal menyampaikan makna.

Sang pemuda mengacungkan selembar kertas ke atas, hingga si gadis dapat membaca sederet kata tertulis di atasnya. "Apa selanjutnya?"
Lalu gadis itu melemparkan segulung kertas balasan. Huruf-huruf rapi tuan putri berbaris di sana. "Salut d’Amour, Edward Elgar", itu permintaan selanjutnya. Sebuah pekerjaan rumah yang akan dirampungkannya dengan sukacita. Beberapa hari lagi dia akan kembali. Dengan gitar kesayangangan, memainkan lagu permintaan gadis pujaan.

Petang datang terlampau cepat. Ketika hari hanya menyisakan gulita, pemuda itu mengundurkan diri. Sebelum pergi, pemuda itu tak pernah lupa satu hal. Setelah meletakkan bunga dahlia yang dibawanya di bawah jendela, dia menyampaikan sepenggal isyarat. Telunjuk menunjuk dadanya sendiri, kemudian disilangkannya kedua tangan yang jemarinya terkepal di depan dada sebelum akhirnya mengarahkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah gadis itu berada.
Gadis itu tersenyum. Dianggukkannya kepala sebagai tanda. Dia tahu, bahasa tanpa suara itu hanya berarti satu.
Aku mencintaimu.