Angin pantai sore ini terasa
lebih menggigit daripada sore-sore yang telah lalu. Bulan Januari yang dingin
dan basah memang bukan saat yang tepat bagi orang-orang untuk piknik di pantai.
Tapi bukan untuk itu aku datang ke sini.
Kuparkir sepedaku di bawah pohon
palem yang ditanam pengelola resort mewah di belakangku. Aku bergegas menyusuri
pasir pantai yang sedikit basah dan mendapati yang kucari ada di tempat
biasanya dia berada.
Hari ini sengaja kubereskan
pekerjaanku cepat-cepat dan pulang lebih awal. Hanya supaya bisa mengobrol
dengannya lebih lama. Angin berhembus kencang mengibarkan syal merah yang
melilit lehernya.
Kurasa dia menyadari kehadiranku
karena dia berkata, “Kamu datang lebih cepat, sepertinya”, bahkan sebelum aku
duduk di atas pasir dingin di sebelahnya. “Pekerjaanku tidak banyak hari ini”,
sahutku. Dia tersenyum. Kuamati wajahnya dari samping dan aku menyadari hari
ini dia terlihat lain.
“Kamu berdandan?”
Dia tertawa keras. “Apakah terlalu tebal? Aku terlihat aneh ya?”
Aku menggeleng, lalu buru-buru
menjawab, “Ah, tidak kok”, dan dia kembali tertawa. Kali ini, tawa kerasnya
disamarkan debur ombak.
“Jadi, bagaimana harimu?
Bagaimana pekerjaanmu? Anak lelaki yang kamu sukai itu, apa yang dia lakukan
hari ini?”, matanya bersinar dipenuhi antusiasme yang entah mengapa membuat
hatiku menghangat. Inilah mengapa aku suka sekali mengobrol dengannya. Dia
mendengar semua ceritaku dengan antusiasme yang terasa tulus.
Aku menatap awan kelabu yang menggantung di atas kami.
“Bagaimana kalau seperti ini, kau
yang bercerita padaku tentang harimu. Selama ini aku yang selalu berceloteh
tentang hari-hariku dan kamu belum pernah sedikitpun. Sekarang giliranmu, kamu
yang bercerita kepadaku”.
Dia terdiam. Bibirnya terkatup
rapat seolah enggan membiarkannya terbuka dan membeberkan semua hal yang
mungkin disimpannya.
“Aku tak pernah bercerita pada siapapun”, bisiknya perlahan. Kurasakan
suaranya bergetar.
“Kenapa?”
“Karena tak ada yang memintaku untuk bercerita”
“Kadang kita tak perlu menunggu orang lain meminta untuk sekedar
bercerita”
“Apakah kamu berpikir orang-orang akan mendengarkanku jika aku bercerita
tanpa diminta?”
Aku hampir berkata ‘Tentu saja!’ saat akhirnya kuurungkan dan kutelan
kembali kata-kata itu.
Angin pantai mendingin dan dia merapatkan jaket wol yang membungkus
badan kurusnya.
“Aku hidup sendiri. Itu berarti
hidupku sulit. Aku tak punya keluarga dan semua orang yang kutemui selalu
memunculkan pertanyaan serupa, ‘Apakah dia tulus?’. Dan karena tak ada yang
memberitahu jawabannya kepadaku, aku tak bisa melakukan hal lain selain
memagari hidupku. Siapa lagi yang bisa kamu andalkan untuk menjagamu saat kamu
sendirian selain dirimu sendiri?”
Aku terdiam, kebingungan. Agak
lama kucerna kata-katanya, namun aku masih tak paham. Namun alih-alih menuntut
penjelasan atas pernyataannya, aku justru berkata, “Baiklah kalau begitu.
Tolong berceritalah kepadaku. Mungkin bisa dimulai dengan, mengapa kamu
berdandan hari ini?”
Semula terasa canggung, namun beberapa saat kemudian
kudapati aku duduk dengan siku bertumpu pada lutut di sebelah wanita yang dari
mulutnya mengalir lancar ribuan cerita dengan genre yang berbeda-beda. Rasanya
seperti membaca buku hariannya. Satu hal yang baru saja kuketahui dari orang
yang bahkan tak kusangka memiliki cerita yang sedemikian menariknya ini adalah,
dia sangat pandai bercerita. Aku tertawa, aku berlinang air mata, aku marah dan
kecewa dalam satu sesi curahan hati di sore mendung itu.
Ceritanya membawaku ke dalam
kehidupannya. Dia bercerita bagaimana kedua orang tuanya meninggal dan dia tak
punya saudara, bagaimana dia hidup sendirian dengan mengandalkan belas kasih
orang lain dan dia benci itu. Dia mengeluh karena orang menganggapnya rapuh,
namun ada masa ketika dia begitu ketakutan tanpa alasan. Dia memberitahuku
tentang mimpi dan harapan-harapan yang disusunnya. Dia bahkan memberitahuku apa
makanan dan lagu-lagu kesukaannya. Dia bilang, hari ini adalah hari ulang tahun
ibunya. Oleh karena itulah dia berdandan. Dia berharap ibunya melihat dia bisa
tampil cantik walau mungkin saja tidak, jadi dia meminta seseorang untuk
mendadaninya.
Langit menggelap namun aku merasa sangat tidak ingin ceritanya
berakhir.
“Pertanyaan ‘apa dia tulus?’ itu, apakah juga terlontar di benakmu
saat pertama kali bertemu denganku?”, tanyaku saat dia berhenti bercerita.
“Pada awalnya”, jawabnya berterus terang.
“Kemudian?”
“Kemudian pertanyaan itu berganti menjadi ‘apakah aku akan bertemu dia
hari ini?’, ‘punya cerita apa dia kali ini?’”, dia melanjutkan, “Kemudian aku
tak peduli lagi apakah kau tulus atau tidak karena aku menyukaimu. Aku senang saat
kau menemaniku di sini dengan ceritamu. Aku suka caramu memandang dunia. Caramu
menikmatinya”.
Aku terdiam.
“Dunia tidak ramah bagi orang-orang sepertiku. Dan memiliki dunia yang
begitu menyenangkan meski hanya lewat ceritamu, rasanya seperti, uhm, entahlah,
aku tidak tahu namanya”.
Hatiku kembali menghangat karena
kata-katanya yang begitu mengena. Tak kusangka hidupku yang sederhana dan
membosankan ini bisa menyentuh orang lain.
Beberapa orang terbangun di pagi
hari dan memulai hari baru, seolah ini
adalah hari pertama mereka dilahirkan. Beberapa yang lain bangun dan menjalani
hari seperti hari-hari kemarin, mereka pikir hari bahkan tidak berganti. Dan
wanita di sampingku ini, aku tak mengerti dia masuk kategori yang mana.
Hidupnya adalah paduan antara masa lalu yang membelenggu dan hal-hal baru yang
dipelajari dalam kesendiriannya.
“Mengapa setiap hari kamu datang ke pantai ini?”
“Kamu sendiri kenapa setiap pagi dan sore selalu mampir ke tempat
ini?”, balasnya.
“Aku senang
melihat matahari terbit dan tenggelam”, jawabku.
“Apa kamu
tahu mengapa aku selalu duduk menghadap ke barat saat pagi dan menghadap timur
saat matahari tenggelam?”, tanyanya sambil menulis sesuatu di atas pasir.
“Ehm, karena
silau?”, jawabku asal.
Dia tertawa.
“Jika kamu
melihat matahari, maka aku memunggunginya”, tahu aku hanya terdiam dia lalu
melanjutkan, “Orang-orang bilang matahari terbit dan tenggelam itu indah. Tapi
apa peduliku? Aku tak bisa melihatnya”, katanya sambil mengacungkan tongkat alat
bantu jalan dalam genggamannya.
“Ada sesuatu
yang menyebalkan saat aku tahu matahari terbit. Itu berarti hari baru datang
lagi namun aku masih sama seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi. Sendirian. Aku
sebal karena aku hidup dan harus bertahan hidup lagi”.
“Dan saat
matahari tenggelam, aku merasa ada sesuatu menyesaki dadaku. Ketakutan. Aku
takut aku tidak akan berjumpa lagi dengan esok hari. Aku takut aku mati setelah
ini dan tak bisa melanjutkan hidupku lagi”.
“Jadi aku
memunggungi matahari. Memunggungi dunia. Memunggungi ketakutanku sendiri”.
Dia tertawa
sumbang.
“Aku aneh
kan?”, tanyanya masih sambil tertawa.
Aku ikut
tertawa, “Teraneh dari yang paling aneh”.
Aku berdiri
dan menepuk pantatku yang ditempeli pasir.
“Sudah
gelap. Kamu harus pulang”, aku membantunya berdiri.
“Besok aku
libur, kita bertemu di sini saat matahari terbit. Dan aku ingin kau berdandan
lagi”, kataku sambil mengangsurkan tongkat berjalannya ke dalam genggamannya.
“Untuk
apa?”, dia bertanya.
“Untuk
menghadapi dunia”
Kulihat dia
mengerutkan dahi.
“Aku baru
sadar, selama ini aku menemanimu memunggungi dunia. Mulai besok akan kutemani
kau menghadapinya”.
2 komentar:
ih bagus..kenapa ndak nulis buku?
hehe, makasih mas. cita-cita sih begitu, tapi belum pede mas.
Posting Komentar