Ada secuil masa, tidak lebih saya suka jika dibandingkan dengan 85 hari berangin awal kemarau favorit saya yang datang sebelumnya, memang. Namun masa itu adalah sebuah langkah. Hanya berumur 18 hari, tetapi menggariskan kesan sekekal warna pelangi. Jika saya adalah perahu, maka itu adalah 18 hari dimana saya mulai mengurai gulungan layar, memantabkan haluan dan menanti angin tiba, menarik sauh lalu menolakkan diri dari dermaga. Menahan dan bertahan agar buritan tak karam karena lepas dari tempatnya bersandar. Kehilangan lalu sendirian di tengah gelombang. Berjumpa badai. Terdampar di himpunan cadas tanpa menara suar. Dan perlahan meniti lalu berjumpa tepi dermaga berikutnya.
18 hari itu saya belajar memaknai arti memulai dan mengakhiri, menangis dan tertawa, menggenggam dan melepaskan, berlari dan jalan di tempat, terjatuh dan mencoba bangkit, melewati tanjakan dan turunan, kehilangan dan menemukan, mempertahankan dan merelakan, menggeleng dan mengangguk, berteriak dan terdiam,berpelukan dan terpaksa menyudahinya. Bermimpi dan harus pergi.
18 hari hanya isi hati. Sebuah pernyataan akan ketidakmampuan diri untuk berucap, mengungkap semua emosi yang tak mungkin ditulis dengan denotasi tanpa permenungan setengah mati. Ini mengenai cerita tanpa suku kata, film dengan terjemahan tak terbaca. 18 hari ini hanya soal memahami.
Lalu tanpa tendensi, akhirnya 18 hari hanyalah penggalan-penggalan hidup dalam suatu rentangan waktu. 18 hari adalah hari berangin yang Tuhan sisakan untuk menguatkan hati. 18 hari adalah siang yang terik dengan sepetak awan gelap yang menipu. 18 hari adalah pagi mendung menjelang hujan tak berkesudahan. 18 hari adalah malam-malam dingin berbintang. 18 hari adalah senja pertama tanpa teman. Dan 18 hari adalah mimpi, terbangun lalu
melangkah kembali.