“Konon,
jika kita melihat bintang yang bersinar di langit, sinar itu berasal dari
bintang yang sudah lama mati”.
“Ah,
masak sih Al?”. Raras berguling dari
tempatnya berbaring. Menengadah menatap langit malam yang ditaburi cahaya
bintang.
“Gak
percaya? Pak guru kok yang bilang”, Aldrian merebahkan tubuhnya di sebelah Raras. Rumput
kering yang ditindihnya menusuk geli punggung yang hanya dilapisi kaos tipis.
“Itu karena, jarak bintang itu dengan kita jauuuuuuuhh banget. Jadi saat
bintang itu berkedip sinarnya harus melewati milyaran kilometer untuk bisa
terlihat dari bumi.”
Raras
menatap lekat bintang paling terang malam itu. Mencoba membayangkan seberapa
jauhnya milyaran kilometer itu.
“Milyaran
kilometer itu jauhnya kayak dari rumah kemana sih, Al?”
“Pokoknya
jauh banget. Gak ada penggaris yang cukup buat ngukur. Saking jauhnya, si
bintang sudah keburu mati waktu sinarnya sampai ke bumi. Dan katanya lagi,
bintang yang bersinar paling terang, itu yang paling cepat mati”
“Kenapa
bisa”
“Karena
mungkin bersinar itu bikin capek. Bintangnya mati kelelahan.”
“Aku
pikir bintang itu tak bisa mati”
“Ada
kok bintang yang tak bisa mati”
“Mana?”
Raras mengedarkan pandangan ke hamparan langit hitam di atasnya.
“Bukan
di atas sana. Tapi di sampingmu”
Raras
memalingkan wajah dan memanyunkan bibir tepat di depan wajah Aldrian.
Aldrian terkikik, “Asal kamu
tahu ya, aku adalah bintang yang akan selalu bersinar terang buat kamu. Gak
akan capek, gak akan mati”.
Raras
ikut terkikik walau dia tidak tahu apa yang sebenarnya menggelikan.
“Oke.
Mulai sekarang kamu adalah bintangku. Kamu harus bersinar terus setiap hari.
Siang dan malam”
“Siap!”
“Janji?”, Raras menyodorkan kelingking. Aldrian menautkan
kelingkingnya.
“Janji.”
Yogyakarta, Mei 17 tahun
kemudian
Raras
membuka kotak harta karunnya dan mengeluarkan kotak lain yang lebih mungil.
Warna biru kotak itu sudah kusam dan gambar sailormoon di bagian mukanya hampir
pudar. Dibukanya kotak itu. Isinya masih sama, dan walau sensasi sentimentilnya
mulai sedikit demi sedikit menghilang, namun Raras tahu perasaannya juga masih
sama. Tak pernah berubah. Mungkin tak akan pernah bisa berubah. Raras membelai
liontin berbentuk bintang yang sekarang tergolek di telapak tangannya.
Belaiannya berubah kasar. Sekarang Raras menggosok liontin itu seakan benda itu
lampu ajaib dan berharap tiba-tiba
keluarlah jin yang berkata padanya. “Kuberi kau 3 permintaan”. Raras akan
langsung tahu satu permintaan yang akan diucapkannya. Tidak tiga. Dia akan
merapel permintaannya menjadi satu supaya efek magisnya semakin kuat untuk
mengabulkan permintaan itu. “Aku minta, tolong kembalikan aku ke masa itu.
Tujuh belas tahun yang lalu”.
Yogyakarta, akhir Mei
Kopi
pesanan Raras mendingin, namun yang dinanti tak kunjung menampakkan diri. Ini
sudah jam 7 malam dan Raras sudah sangat lelah setelah seharian ini membelah
kota Jogja. Saat hendak beranjak meninggalkan kedai kopi langganan itu,
tiba-tiba pipinya dikecup dari arah belakang.
“Hei, sayang. Maaf telat.”
“Ini
namanya telat pakai banget, Mas.”
“Iyaa,,maafnya
juga pakai banget deh. Tadi ada rapat mendadak.”
“Iya
deh pak dosen muda yang super sibuk. Aku udah terbiasa nunggu lama kok”
“Jangan
ngambek gitu dong. Eh, gimana tadi acara cari kebayanya? Sudah nemu yang
cocok?”
Raras
menggeleng perlahan.
Yogyakarta, awal Juni
Kotak
harta karun itu sudah ada di pangkuan Raras sejak lima belas menit yang lalu.
Terbuka, menampakkan puluhan foto, kartu pos bergambar, buku harian jaman SMP,
gelang persahabatan, jam tangan mati hadiah terakhir dari eyang, dan tumpukan
benda memorable miliknya. Kotak mungil biru kusam itu menyembul di pojokan.
Hanya kepala sailormoon saja yang kelihatan. Malam ini lagi-lagi Raras ingin
bernostalgia. Dan nostalgia dengan isi kotak mungil itu selalu menjadi yang
paling membuatnya pedih.
Malam
ini kotak harta karun itu ditutup, tanpa Raras sempat membuka kotak mungil
sailormoonnya.
Yogyakarta, minggu kedua Juni
Raras
mematut-matutkan diri di depan cermin. Di sampingnya, Ratih menggunakan
ponselnya untuk memotret Raras dari berbagai angle.
“Kebayanya
cantik. Yang pakai lebih cantik. Cocok sekali mbak.”
Raras
tersenyum.
“Bagaimana
mbak? Bagian pinggulnya pas? Masih perlu dikecilkan?”
Raras
menggeleng singkat.
“Mau
nikah kok lemes sih, mbak?”
Raras
nyengir. “Bukan saya yang mau nikah kok mbak”.
Yogyakarta, Rabu pagi terakhir
bulan Juni
‘Sudah landing. Belum makan. Cepetan jemput terus traktir aku makan.’
Sending message
Ini
pertama kalinya, sejak meninggalkannya dua tahun lalu, dia menjejakkan kakinya
di tanah Jogja. Baginya tak banyak yang berubah dari tempat ini. Selalu hangat
dan bersahabat. Meskipun dia berkhianat, pergi tanpa pamit dan meninggalkan
sejuta memori di kota kecil ini, namun Jogja tak pernah marah. Pagi ini dia
disambut ramah.
Dihirupnya
dalam-dalam udara Jogja. Segarnya masih sama dengan dua tahun lalu. Dia duduk
di bangku semen di bawah pohon dekat tempat parkir mobil. Dipejamkan matanya,
dan walau setengah mati dia berjanji untuk tidak goyah, dia tahu dia ternyata
sangat lemah. Hampir 2 jam di pesawat dia meyakinkan diri sendiri, bahwa kembali
ke Jogja bukan hal yang berat. Benar, pulang ke Jogja akan selalu mudah. Namun
menghadapi apa yang ada di dalam Jogja, itu yang dia tak yakin bisa.
Ada yang menepuk bahunya keras. Al menoleh
kaget.
“Aldrian
Wisnu Nugraha mameeeen…”
Tubuh
Al limbung saat Surya yang gempal menubruk dan memeluknya.
“Apa
kabar kamu, Al? Makin tampan aja kamu.”
Al
tertawa pelan. Membalas pelukan Surya dan memukul bahunya, “Makin lebar aja
kamu, Sur. Aku kangen banget sama kamu.”
“Widiiih…sori,
aku sih gak segitu kangennya sama kamu. Ada yang jauh lebih kangen di sini.
Setengah mati.”
Al
meringis. Kelu. Ngilu.
Yogyakarta, Rabu malam
terakhir bulan Juni
“Gak
jadi pergi sama Danang?”
“Gak,
mbak”
“Lhoh,
katanya mau lihat undangan?”
“Besok
aja masih bisa, mbak.”
“Gedung
udah beres?”
“Kayaknya
udah”
“Katering?”
“Udah
sih kayaknya”
Ratih
memandang adiknya.
“Ini
kenapa yang repot aku sih, Ras? Kan bukan aku yang mau nikah”
“Bukan
aku juga kok.”
Ratih
mendesah.
“Oke,
memang bukan kamu yang mau nikah. Ibu yang mau kamu nikah. Tapi kamu sudah
mengiyakan. Setidaknya tanggung jawab dong dengan pilihanmu.”
“Mbak,
aku tidak pernah berada di posisi bisa memilih. Ibu gak ngasih pilihan. Bisa
apa aku?”
Ratih
melirik kotak harta karun Raras yang sebelumnya disembunyikan di bawah tempat
tidur namun beberapa hari terakhir ini dipajang di atas meja rias.
“Raras,
tidak ada yang lebih handal dalam menghadapi masa lalu selain masa depan.”
Yogyakarta, suatu malam yang
penuh bintang
“Twinkle..twinkle..little..star..how..I
wonder..what you..are…”
Al
membaringkan tubuhnya di halaman berumput belakang rumah neneknya. Dia menolehkan kepala ke sisi kiri. Tempat
dimana seharusnya seorang gadis terbaring, seperti tahun-tahun yang telah lalu,
kini kosong. Sendirian dia melihat jutaan kerlip bintang di langit luas di
atasnya.
“Apa
kamu masih suka melihat bintang?”
“Apa
kamu masih suka bintang setelah bintang pribadimu meninggalkan kamu?”
“Apa
kamu tahu, kalau sesungguhnya aku tak pernah berhenti bersinar buat kamu?”
“Walau
kamu tak pernah melihat sinar itu. Karena bintangmu ini sekarang terlalu lemah
dan jauh untuk bersinar seterang dulu.”
Al
memejamkan mata. Berusaha menahan luapan rindu yang memaksa ingin berteriak
sekuat tenaga. Langit malam jogja ternyata membuat Al terdesak nostalgia.
Yogyakarta, malam lain yang
juga penuh bintang
“Bagus,
kan?”
“Bagus,
mas”
“Aku
tahu kamu suka banget sama bintang. Makanya aku ajak kamu ke sini. Di bukit
bintang ini kamu bisa melihat bintang walau langit mendung atau bahkan hujan
sekalipun”
Raras
memandang ribuan sinar lampu yang berkelap-kelip bagai bintang nun jauh di
bawah bukit sana. Lampu-lampu kota jogja.
“Makasih.
Mas Danang so sweet banget, sih.”
Tapi
tetap saja itu bukan bintang. Itu hanya lampu.
Raras
memegang dadanya yang mendadak ngilu.
Dia
hanya ingin bintangnya. Setidaknya malam ini saja.
Balikpapan, malam pertama
tanpa Aldrian
“Lagi apa, Al? Jangan sampai
kecapekan ya, sayang”
Sending message
Yogyakarta, hari kedua
kedatangan Aldrian
“Aku
datang hanya karena Surya mau nikah. Aku datang demi Surya. Demi Surya.”
Berkali-kali
Aldrian melafalkan kalimat itu bagai mantra. Berharap kata-kata tadi manjur
untuk mengenyahkan rasa sesak yang makin mendesak. Rasa sesak yang nyaris
setiap hari menderanya karena begitu merindukan Raras. Dan kerinduan itu sampai
pada batas yang sanggup ditahannya, ketika dia tahu hanya tinggal sejengkal
saja dia bisa berjumpa kembali dengan inti kerinduannya, namun dia juga tahu
dia tak akan bisa.
Saat
mulutnya sibuk mengulang-ulang ‘Aku datang demi Surya’, Al tak menyadari bahwa
hatinya yang dikendalikan memori membawanya kembali ke sebuah tempat dimana 2
tahun lalu dia, atas dasar rasa takut dan kalut, memutuskan untuk pergi.
Melarikan diri. Hilang dari kehidupan orang yang dicintainya.
Yogyakarta, Rumah Coklat, 2
tahun lalu
“Ras..”
“Hemm..?”
Raras asik menyeruput hot chocolatenya
hingga tak memperhatikan raut wajah Aldrian yang sedari tadi kusut.
Hening.
“Apa
sih, Al? Manggil kok gak tanggung jawab gitu?” Raras mendongakkan wajahnya dan
menatap Aldrian yang sontak membuang pandangan ke sendok es krim yang sedang
dimainkannya.
Walau
sekilas, akhirnya didapatinya juga sinar suram mata Aldrian yang tadi lolos
dari perhatiannya.
“Kamu,
kenapa Al? Baik-baik saja, kan?”
Aldrian
terpaksa mendongak dan mengangguk sekilas, pandangannya kembali ke sendok es
krim.
Raras
terlalu mengenal Aldrian.
“Ada
masalah apa?”
“Nggak
ada masalah apa-apa, Ras.”
“Gak
mungkin.”
“Aku
gak papa, Raras.”
“Aldrian..”
“Ehm,
Ras, kalau misalnya aku harus pergi kemana gitu, kira-kira berapa lama kamu
bisa bertahan menungguku?”
“Hah?
Maksudmu apa sih, Al?”
“Nggak.
Nggak ada maksud apa-apa. Cuma iseng tanya.”
Yogyakarta, rumah coklat, hari
ketiga kedatangan Aldrian
Raras
duduk terpekur, pandangannya menerawang, jemarinya memainkan ikal yang
menjuntai di pelipisnya. Ada sebaris kerinduan terbaca, mengintip di sela-sela
proses mengenang masa lalunya. Ini sofa yang sama, yang ditempatinya 2 tahun
lalu. Tempat dimana dia untuk terakhir kalinya bisa berjumpa dengan Aldrian.
Karena sehari setelah itu, hingga saat ini, Aldrian hilang, sengaja menghilang.
Tak ada jejak yang bisa Raras telusuri, tak ada informasi yang bisa dia gali.
Seluruh keluarga Al di Jogja, kakek-nenek, para sepupu, sepertinya bersekongkol
menyembunyikan sesuatu entah apa tentang Al dari Raras. Jika ditanya, mereka
hanya menjawab, “Nyusul orang tuanya.” Sampai bosan rasanya Surya, sepupu
terdekat Al, dibombardir pertanyaan Raras. Namun, sekeras apapun usaha Raras
menanyai Surya, dia juga hanya akan menjawab, “Nyusul papa-mamanya, Ras”.
Kehilangan
penyangga, Raras limbung. Aldrian bukan hanya sekedar kekasih. Al adalah
sahabat terbaik, kakak lelaki yang tak
pernah dia punya, dan adakalanya, ayah yang selalu dirindukannya. 2 tahun ini
Raras berjuang, melawan keinginannya sendiri untuk selalu mengingat Al. Berjuang
untuk menerima, bahwa memang Aldrian sudah pergi meninggalkannya. Rasa sakit
karena kehilangan, dan kecewa karena ditinggalkan membentuk luka menganga yang
menghiasi hati Raras bagai tato. Beberapa luka akan sembuh, namun beberapa yang
lain akan tetap membekas dan bahkan masih terasa sakitnya hanya dengan
mengingatnya. Dan kali ini, kembali Raras merasakan sakit yang sama, yang
pertama kali dirasakannya ketika kehilangan orang yang ternyata begitu
disayanginya.
Di
sudut yang lain, secangkir cokelat panas diacuhkan begitu saja oleh penunggu
meja. Sudah hampir satu jam yang lalu Al duduk di kursi di sudut paling sepi
Rumah Coklat, dan tak tahu harus bagaimana menanggapi kebetulan yang sepertinya
telah diatur semesta. Kebetulan yang menyakitkan. Al sesungguhnya tak pernah
berniat datang ke tempat penuh kenangan ini. Namun nalurinya berkhianat karena
tiba-tiba saja dia sudah duduk di tempatnya sekarang dan menatap nanar
pemandangan paling tak disangkanya. Wajah Raras tampak samping. Seakan ada
gumpalan aneh yang berdenyut di perut Al, melesak mendesak jantungnya. Al
merinding, bahkan walau sudah lewat 2 tahun Al tetap saja merasakan sensasi
yang sama dengan yang dulu dirasakannya setiap berada dekat dengan Raras. Al
seolah-olah buta warna. Semua hal di sekitarnya putih abu-abu, dan hanya satu
sosok yang terlihat diselimuti mejikuhibiniu. Raras.
Cokelat
panas itu tak lagi panas dan Aldrian masih dijerat benang-benang dilema yang
melilitnya. Dia rindu, teramat rindu, namun ragu. Dia begitu ingin merengkuh
Raras dalam pelukannya namun terlalu merasa bersalah untuk melakukannya.
Kasir
Rumah Coklat ini pastinya berniat menyindir Aldrian, karena sudah tiga kali dia
memutar lagu Goodbye milik Air Supply. Aldrian semakin teriris
pedih.
“Aku
seperti orang dari masa lalu, Ras. Datang kemari dengan mesin waktu, melintasi
dimensi hanya untuk tahu, bahagiakah kamu?”. Bahkan walau hanya melihat satu
sisi wajah Raras dalam jarak hampir delapan meter, Aldrian sudah tahu
jawabannya.
Merasa
tak memiliki daya untuk bertahan, Al memilih meninggalkan cokelatnya, Raras dan
lagu Air Supply yang menggantung di
benaknya.
“You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can’t live a lie
anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There’s nothing left to say but
good bye
You deserve the chance at the
kind of love
I’m not sure I’m worthy of
Losing you is painful to me”
Balikpapan, malam ketiga tanpa
Aldrian
New message
“Aldrian jadi pulang lusa.
Tunggu ya.”
Yogyakarta, rumah Surya, malam
midodareni
Surya
sadar, Aldrian bisa jadi sangat marah padanya. Namun dia mengambil resiko itu.
Sesungguhnya Aldrian hanya terlalu naif untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini.
Andai Aldrian tahu, kesalahpahaman ini mulai menyakiti Raras dan Al sendiri.
Ketakutan berlebihannya hanya menambah rumit dan sakit mereka berdua. Jika Al tak punya keberanian untuk
menyelesaikannya, Surya yang akan melakukannya.
“Surya…”
Nada
canggung itu, Surya mengenalinya. Dia menoleh sambil berharap apa yang
dilakukannya ini benar.
“Eh,
Ras! Makasih ya, udah mau datang. Lama banget gak ketemu nih. Kamu apa kabar,
Ras?”
“Kabar
oke, Sur. Gimana kabarmu?”, Raras terpaksa menelan satu pertanyaan yang
sesungguhnya sudah sangat ingin disampaikannya dari dulu. Bagaimana kabar
Aldrian?
“Aku
juga oke kok. Kalau gak oke kan gak mungkin nikah besok. Oya, masuk Ras. Tere
ada di dalam.”
Raras
mengangguk, melangkah masuk ke rumah Surya dan hampir tersandung saat melihat
hal terakhir yang berani dibayangkannya namun sesungguhnya selalu
membayanginya. Aldrian. Raras mematung saat pandangan mereka beradu. Aldrian
bahkan jauh lebih terkejut darinya, wajahnya memucat. Raras merasa seperti
diguyur seember air es dengan butiran es batu menjatuhi kepalanya. Dingin,
merinding, sakit. Gemetar, Raras duduk di sofa terdekat dan berharap sofa itu
menelannya. Walau setengah mati selalu berharap dapat bertemu lagi dengan
Aldrian, nyatanya perjumpaan tak terduga ini justru membuatnya goyah. Diantara
resah dan gelisah, Raras berkali-kali mencoba mencuri pandang ke arah Aldrian.
Dan entah mengapa, Raras merasa Al sengaja menghindari pandangannya. Sepanjang
acara midodareni, Raras serasa menaiki mobil dengan kecepatan tinggi di jalanan
penuh tanjakan dan turunan. Jantungnya berdesir tak karuan.
Bagai
selebriti yang berkelit dari incaran wartawan, Aldrian pun terkesan mencoba
melarikan diri dari Raras. Sebelum acara usai, Al menghilang. Raras berusaha
menguak rombongan ibu-ibu yang berisik membagi-bagi snack dan mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru ruang, namun sosok Al tak nampak olehnya.
Tiba-tiba pundaknya di tepuk dari belakang.
“Ras,
bisa ikut aku sebentar?”
Raras
mengangguk heran namun tak urung mengikuti Surya ke arah belakang rumah. Surya
membawanya ke taman belakang. Aldrian duduk di bangku kayu di pinggir kolam
ikan. Melihat Raras datang, Al berdiri cepat. Wajahnya terjebak di antara
ekspresi ragu, sedih, senang, dan anehnya terluka.
Selama
dua tahun ini, begitu banyak hal dialami Raras. Banyak cerita yang ingin dia
bagi, banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan, banyak pengakuan yang ingin
dia ungkapkan. Namun, di tengah tumpukan rindu dan kecewa yang menjadi satu,
Raras entah mengapa hanya bertanya, “Waktu itu, ketika kamu bertanya berapa
lama aku bisa menunggumu, mengapa kamu bahkan tak menungguku menjawab
pertanyaanmu?”
“Maaf
Ras. Waktu itu sesungguhnya aku tak perlu jawabanmu. Aku tak ingin kamu menungguku.
Karena, selama apapun kamu menunggu, aku mungkin tak akan bisa kembali padamu.”
Yogyakarta,
Minggu kedua bulan Juli
Sudah
beberapa hari berselang sejak pertemuan Raras dengan Al. Surya bilang, Al
langsung pulang begitu acara pernikahannya selesai. Tanpa titipan pesan apa-apa
untuk Raras.
“Kamu
yakin Al gak bilang apa-apa, Sur? Pergi gitu aja?”
“Sori
Ras, tapi dia memang gak nitip pesan apapun buat kamu.”
Raras
tertegun. Begitu saja? Hanya begitu saja? Mendadak rasa rindu yang sempat
menggebu kalah oleh kejengkelan luar biasa.
“Dia
jatuh cinta dengan cewek lain atau bagaimana sih Sur? Kenapa aku jadi tidak
dianggap begini? Tidak ada kata putus, tidak ada penjelasan. Lalu kemarin
tiba-tiba datang memintaku menemuinya dan tetap tak ada penjelasan seperti yang
seharusnya aku dengar. Mana boleh dia kayak gitu sama aku Sur!”
Di
tengah emosi Raras yang diluapkan tanpa sengaja di hadapannya, Surya memaki
dalam hati.
“Dasar
bocah kampret sial itu! Bodoh amat sih jadi cowok.”
Dan
jika ada orang tak bersalah yang terkena imbas langsung kebodohan Aldrian itu
sudah pasti Danang. Lelaki itu sepatutnya bersyukur karena dia terlahir dengan
kesabaran di luar kapasitas wajar manusia. Dalam ketidaktahuannya akan apa yang
dipikirkan, dibayangkan dan dirasakan oleh Raras, lelaki itu tak pernah
sejenakpun tidak berusaha memahami gadis yang diam-diam didambanya sejak masa
SMA. Danang tahu, sekeras apapun dia berjuang dia tidak akan pernah sampai di
posisi sedalam yang pernah Aldrian capai di hati Raras. Danang mengerti betapa
kuatnya ikatan Raras-Aldrian yang terjalin bahkan sejak mereka belum tahu bahwa
satu ditambah satu sama dengan dua. Dan ketika pada saatnya dia punya
kesempatan untuk mengambil alih posisi Aldrian yang tiba-tiba kosong, dia
mungkin saja sudah tahu, bahwa ada harga yang harus dibayar untuk itu. Bagai
saldo tabungan yang sedikit-demi sedikit berkurang, kesabarannya terkuras
perlahan demi membayar apa yang dia sebut cinta. Andai Danang boleh menasehati
orang lain, sebaiknya jangan pernah mengharapkan cinta dari seseorang yang
sudah patah hatinya. Hati Raras terlanjur penuh berisi Aldrian. Hanya tersisa
sedikit sekali tempat bagi Danang, itu pun sangat dipaksa agar muat.
Mentok-mentoknya, Danang akhirnya harus rela berdesakan dengan makhluk imajiner
bernama bayang-banyang mantan pacar. Lalu, ketika hati Raras tersakiti, tak ada
tempat lagi bagi Danang untuk tinggal. Hati Raras semacam mati, namun makhluk
imajiner di dalamnya masih saja bergentayangan.
“Apa
sih hebatnya Aldrian, Ras? Kalau dia bisa jadi bintangmu, aku bahkan bisa jadi
langitmu. Semua bintang yang ada di sana akan aku kasih ke kamu. Sayangnya kamu gak pernah berani membuka hatimu untuk
menerima itu. ”
Yogyakarta, sebulan sebelum
pernikahan Raras
Danang
sibuk di antara tumpukan undangan biru muda. Bibirnya aktif bergerak
mengomentari ini itu. Sudah setengah jam yang lalu dan Raras tak tahu apa yang
dia bicarakan. Karena ia tak mendengarkan. Pikirannya melayang ke pertemuan
terakhirnya dengan Al seminggu yang lalu, benaknya asik mengulas cerita lama.
Dia, Al dan apa yang terjadi di antara mereka.
“…biar
gampang, gak usah dikirim, aku kasih di kantor aja…”
Raras
tak menggubris. Dia sibuk berbicara dengan hatinya sendiri.
“Mengapa
Al menghindar? Mengapa pergi begitu saja?”
“…si
Edo bilang foto prewed udah beres, siap dikirim…”
“Apa
ada wanita lain? Tapi kenapa dia tak bilang terus terang saja?”
“…kebaya
masih muat kan? Kamu kayaknya tambah gembul…”
“Ah..Aldrian…”
Raras
tiba-tiba tersadar dari lamunannya, bukan karena Danang menepuknya atau
memanggil namanya. Justru karena dia merasakan kesunyian yang mendadak. Ocehan
Danang berhenti, dia diam tak bergerak dan menatap Raras tepat di matanya.
Ekspresi wajahnya tak terbaca.
“Citrarasmi.
Aku mau tanya. Bagaimana perasaan kamu kalau tinggal sebulan lagi kamu mau
menikah, calon pasanganmu mengabaikan
kamu saat kamu sedang ribet mengurus undangan, dan tiba-tiba dia mendesahkan
nama mantan pacarnya?”
“Hah?!
Mak..maksud kamu”, Raras tergagap kaget. Dia merasa menyebut nama Aldrian di
dalam hatinya. Apa terlalu keras?
Danang
membeku kaku. Matanya semakin tajam menatap Raras. Separuh dirinya bertahan
mengikuti hatinya untuk tetap tinggal, mencintai Raras tak peduli jika itu tak
berbalas. Namun separuhnya lagi digelayuti harga diri yang minta diselamatkan
setelah sebelumnya sempat ditenggelamkannya sendiri.
“Ras,
sebulan lagi kita menikah. Dan aku gak mau saat malam pertama kita nanti, kamu
mendesahkan nama orang lain yang bukan suamimu.”
“Mas,
aku gak bermaksud..”
“Aku
mau tanya satu hal lagi. Tolong jawab jujur”.
Ada
beberapa detik kosong yang menusuk.
“Apa
kamu masih mau mengejar Aldrian?”
“Maaf
mas,,,aku mungkin cuma…”
“Kangen?
Akan sampai kapan kamu kangen sama dia?”
Ada
helaan nafas panjang yang begitu berat mengakhiri hening membekukan di antara
mereka.
“Aku
benar-benar takut kamu akan sering mendesahkan nama Aldrian kalau kita sudah
menikah nanti.”
“Mas…aku
gak akan…”
“Jadi,
mari kita batalkan saja pernikahan ini.”
Raras
melongo.
“Raras,
selama ini aku mungkin bego karena berharap suatu saat kamu akan melupakan
Aldrian dan perasaan cintamu akan pindah haluan kepadaku. Jadi aku menunggu.
Aku seneng banget saat akhirnya kamu menerima lamaranku, aku pikir kamu sudah
melupakan Aldrian dan jatuh cinta padaku.”
“Lalu
aku sadar, aku ternyata hanya memaksa diriku sendiri untuk memercayai
harapanku. Dan ketika harapanku kini sudah gak bisa diperjuangkan lagi, aku
harus bertahan pakai apa Ras? Selama ini hanya itu yang menyembuhkanku dari
rasa lelah dan sakit karena menunggu kamu.”
“Mas,
kamu ngomong apa sih? Bulan depan kita menikah. Undangan sudah banyak yang
disebar. Membatalkan pernikahan gak semudah membatalkan tiket pesawat.”
“Jaman
memang sudah maju Ras, tapi orang nikah juga tetap butuh cinta. Masa bodoh
dengan orang lain, tapi kalau aku menikah itu jelas karena cinta, bukan karena
undangan sudah terlanjur disebar, catering terlanjur dipesan, kebaya terlanjur
dijahit.”
Mata
Raras memanas, dia tak tahu emosi apa yang sedang ditahannya. Kecewa, sakit,
sedih, atau justru lega.
“Mungkin
selama ini aku memang egois karena mempertahankan kamu di sisiku dan
berpura-pura bahwa memang disitulah kamu seharusnya berada. Dan sekarang
anggaplah aku melengkapi keegoisanku dengan melepaskanmu karena tak sanggup
lagi bersaing dengan lelaki lain.”
Bulir-bulir
hangat merembes dari sudut mata Raras. Apa yang selama ini dia coba pertahankan
luruh juga. Air mata dari berlapis-lapis emosi yang disimpannya sendirian.
“Jatuh
cinta padamu itu mudah, Ras. Tapi mencintaimu itu butuh perjuangan. Dan aku
yakin pasti butuh perjuangan yang lebih lagi untuk tidak mencintaimu lagi.
Atas
kesempatan mengenalmu lebih dalam setahun belakangan ini, aku benar-benar
berterimakasih. Kelak, aku bisa mengenang bahwa ada suatu masa ketika aku
sangat menyayangimu, dan kamu pun juga menyayangiku. Atau anggap saja begitu.”
Air
mata Raras menderas. Sejuta perasaan yang ingin dia ungkapkan mampet di
tenggorokan. Yang dia sanggup hanya meraih tangan Danang, menggenggamnya dan
berharap Danang mengerti apa yang hendak dia sampaikan dari kehangatan jemari
yang ditautkannya erat.
Danang
membelai rambut Raras. Mengusap air mata di pipi gadis itu sambil
mempertahankan miliknya yang berontak ingin menetes juga.
“Selesaikan
apa yang sesungguhnya belum usai, Ras.”
Bandara
Adi Sucipto, 36 jam kemudian…
Raras
duduk menatap cangkir latté Dunkin
Donnuts yang tak kunjung disentuhnya. Hatinya yang tak tenang membuatnya
datang satu jam lebih awal dari jadwal check-in.
Dibuangnya pandangan ke puluhan orang yang berlalu-lalang. Pikirannya melayang
ke 24 jam yang lalu, saat dengan penuh tekad ditemuinya Surya.
“Sur,
tolong komentarnya belakangan. Pernikahanku batal, kurang lebih karena Aldrian.
Sekarang jawab jujur, dimana dia?”
Bersiap
diri menerima jawaban ‘nyusul orang tuanya’, Raras justru mendapati Surya
tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian keluar dengan selembar
kertas di tangannya yang ternyata tiket pesawat.
“Ini
seharusnya tiket Tere. Tapi aku yakin kamu lebih perlu. Pesawat jam 7 besok
pagi. Aku tunggu di bandara.”
Raras
tertegun menatap tiket itu sebelum akhirnya menariknya dari genggaman Surya.
“Ras,
siapin hati.”
“Apa-apaan
sih ini?”, batin Raras.
Raras
hampir tak mengingat apa yang terjadi dalam 36 jam terakhirnya. Yang dia tahu
adalah, sekarang dia duduk di kursi pesawat dengan gunung Merapi dan Merbabu
yang mengecil nampak dari jendela sempit di sampingnya. Surya duduk membisu,
membiarkannya makin gelisah hanya dengan satu hal yang dia tahu pasti. Pesawat
ini terbang menuju Balikpapan.
Orang
akan menganggapnya edan karena melihatnya saat ini. Meninggalkan ibunya yang
darah tingginya kumat, kakaknya yang marah dan jengkel berat, mantan calon
suami yang galau, pertanyaan banyak pihak yang menanti konfirmasi terkait
pembatalan pernikahan, dan dia justru duduk di pesawat bersama seorang lelaki,
menuju tempat yang baru pertama kali dikunjunginya untuk bertemu mantan pacar.
Atau mungkin saja tidak. Entahlah.
Balikpapan, hujan
rintik-rintik
Raras
menatap pemandangan asing yang diselimuti gerimis dari balik jendela mobil.
Setelah hampir 2 jam duduk gelisah di pesawat dan melawan keinginan berlebihan
untuk melompat keluar, Raras kini dibawa kembali menuju ke entah kemana. Lalu
kegelisahan ini pun seakan tak berujung. Surya dan lelaki yang menyetir di
sampingnya berbisik-bisik misterius. Dengan kegelisahan yang semakin menjadi,
Raras bahkan sudah tak punya pertanyaan yang ingin dia sampaikan. Dia hanya
berharap sesegera mungkin mereka tiba di tempat tujuan. Tempat apapun itu.
Dan
tujuan mereka ternyata adalah tempat terakhir yang bisa dibayangkan Raras. Kini
kegalauan 2 tahunnya dihadapkan pada kenyataan yang mungkin saja pahit dan
hanya dibatasi selapis daun pintu di hadapannya. Saat Surya mendorong pintu
itu, mendadak Raras ingin waktu membeku. Sejenak saja, untuk sekedar memberinya
waktu menarik nafas dan mencari pegangan. Benaknya mulai menggapai-gapai
kesadaran akan apa yang nampak di depan matanya. Entah apa yang menusuk karena
mendadak dadanya ngilu. Itu Al. Ya, itu dia.
Yogyakarta, 6 tahun lalu
Seseorang
pasti membentangkan kelambu karena mendadak Raras merasa semua hal
disekelilingnya memburam, samar-samar. Digenggamnya erat tepi meja demi menahan
tubuhnya yang lemas. Tak ada airmata. Hanya isak tertahan yang tercekat di
tenggorokan karena dia bahkan tak punya daya untuk sekedar mengeluarkannya. Ada
yang menjungkir balikkan tubuhnya, lampu-lampu berkelip di depan matanya dan
tiba-tiba semua menjadi hitam. Raras pingsan.
Balikpapan, gerimis menjadi
hujan
Raras
merasa seperti ada yang menggandeng tangannya, membawanya masuk ke gedung
bioskop yang tengah memutar ulang adegan 6 tahun lalu. Rewind-decrease speed-skip
back-pause-fast forward-rewind-pause. Infus yang sama, selang oksigen yang
sama, kepala botak yang sama. Hanya saja monitor di samping tempat tidur itu
tidak menampilkan garis lurus berjalan. Raras tidak perlu pingsan. Atau mungkin
belum. Setengah mati dia berusaha mematikan pemandangan di kamar rumah sakit
tadi yang disiarkan ulang berkali-kali di benaknya, namun apadaya, kenangan
akan kematian ayahnya terlanjur ikut campur bagai dejavu. Jika penyakit mereka
sama, Raras tak berharap banyak akan bertemu akhir yang berbeda.
“Sudah
hampir tiga tahun terakhir Al tahu dia menderita leukemia kronis. Dokter bilang
dia bisa sembuh asal mendapat donor
sumsum tulang belakang yang cocok. Semula dia optimis. Namun ketika dia tak
juga mendapat donor yang cocok, dia down.
Al kehilangan semangat. Awalnya Al bertekad tidak akan membiarkan kamu
kehilangan dia sama seperti kamu kehilangan ayahmu dulu. Lalu, ketika akhirnya
dia merasa bahwa bagaimanapun juga kamu mungkin akan tetap kehilangan dia, Al
bertekad untuk membuat proses kehilangan itu tidak membuatmu sesakit dulu.”
“Jadi
Al memilih pergi, melarikan diri. Mungkin kamu akan bilang Al pengecut, tapi
dia begitu karena dia sungguh-sungguh sayang kamu, Ras. Al adalah orang yang
paling tahu betapa sakitnya kamu dulu ketika kamu tahu ayahmu mengidap leukemia
dan tak tertolong lagi. Karena itulah dia tak pernah sanggup memberi tahu kamu
tentang penyakitnya. Dia sering bilang ‘Al kangen Raras, ma. Kadang Al lebay
karena merasa Al bakal mati bukan karena penyakit ini, tapi karena kangen sama
Raras’. Tolong jangan ditangisi ya Ras. Al paling gak mau lihat dua wanita
kesayangannya menangis.”
Dan
itu sulit.
Balikpapan, taman, kursi roda,
teka-teki silang
“Enam
huruf. Senjata khas suku Dayak”
“Mandau”
“Lima huruf. Cepat, segera. Huruf terakhir S”
“Lekas”
“Ah, cerdas! Empat huruf. Jika?”
“Andai”
“Itu lima huruf, Al.”
“Itu bukan jawaban, Ras.”
“Hah?”
“Andai bisa, aku berharap kamu nggak pernah
datang ke sini Ras. Sebahagia apapun aku ketemu kamu, bukan seperti ini yang
aku harapkan akan terjadi. Aku pengin kamu hidup bahagia, bersama pasangan yang
sehat, punya anak-anak yang lucu, tumbuh dan menikmati hari tua bersama. Itu
bukan masa depan yang bisa kamu dapatkan jika kamu bersamaku, Ras. Tidak akan
pernah bisa.”
Percuma mama Al memintanya untuk tidak
menangis. Percuma dia menahan sesaknya menangis tanpa suara semalaman di sisi
ranjang Al. Percuma dia susah payah mengompres mata bengkak bola pingpongnya
tadi pagi demi tidak terlihat seperti habis menangis di hadapan Al. Bocah ini
malah memancing air mata yang ditahannyasusah payah agar tidak tumpah.
“Al, kita sudah sepakat. Tidak ada penyesalan,
tidak ada pengandaian. Yang ada hanya aku dan kamu, kita mulai jalani lagi apa
yang waktu itu seharusnya memang tidak pernah berhenti.”
“Bagaimana kalau kita tidak pernah bisa memulai
lagi? Bagaimana kalau baru mau mulai aku sudah mati? Tidak ada yang tahu Ras,
mungkin umurku tinggal satu atau dua bulan lagi”.
“Asal bisa memanfaatkan waktu dengan baik
bersamamu, satu atau dua bulan itu sudah cukup.”
“Aku akan menghabiskan sebagian besar waktu di
tempat tidur, mungkin dalam kondisi tak sadarkan diri.”
“Nggak apa-apa. Aku tungguin.”
“Rambutku rontok semua. Aku botak.”
“Kebetulan tipe lelaki idamanku memang yang
botak-botak.”
“Ras, aku nggak mau hidupmu sia-sia hanya demi
janji konyol jaman kecil kita untuk selalu bersama.”
“Bagiku itu nggak konyol. Itu janji paling
tulus yang pernah kubuat bersamamu.”
“Pulanglah Ras.”
“Aku menyayangi kamu, mengasihi kamu apa
adanya. Apa itu cukup untuk membuat aku boleh nemenin kamu di sini?”
Al terdiam, menatap pucuk pohon cemara di taman
rumah sakit yang dihembus angin. Dihelanya nafas panjang sebelum akhirnya
tersenyum.
“Ras, empat huruf. Pohon Enau.”
Yogyakarta,
tiga bulan kemudian
“Konon, bintang adalah utusan dari surga. Jika
kita merindukan seseorang, pandanglah satu bintang paling terang di langit
sambil membayangkan orang yang kita rindukan. Lalu pejamkan mata dan sebut
namanya. Buka matamu dan amati, jika bintang itu berkelip kepadamu, itu artinya
bintang mendengar dan orang yang kamu rindukan akan merasakan apa yang kamu
rasakan.”
Raras berbaring terlentang di halaman berumput belakang
rumah nenek Aldrian. Dia menoleh ke kanan, ke tempat
dimana seharusnya Al terbaring,
memandang bintang bersamanya.
“Ah, Aldrian. Ceritamu selalu saja dipenuhi
konon belaka. Tapi aku harap kali ini ceritamu benar.”
Dipejamkan matanya perlahan. Dia tersenyum
samar.
“Aldrian…”, bisiknya pelan.
“Walau kita terpisah 1000 tahun cahaya, aku
tahu aku akan tetap bisa melihat sinarmu. Karena walau kamu sudah tak ada lagi di
sini, namun kamu sudah menepati janji. Bagiku, kamu tetaplah bintang yang tak
bisa mati”.
Bintang kecil di langit gelap itu berkelip.