"Namaku Karenina. Panggil saja Nina", begitu
katanya saat memperkenalkan diri.
"Aku Surya", kataku sambil mengulurkan tangan.
"Panggil saja Surya".
Matahari musim kemarau terasa begitu menyengat dan sangat
tepat untuk menjawab 'di bawah beringin cinta' saat Nina bertanya dimana kami
akan bertemu sewaktu dia meneleponku sehari sebelumnya.
"Kata Rama kamu detektif?" tanyanya. Aku diserang
tatapan menilai yang dihujamkannya dari ujung kaki hingga ujung kepalaku. Dalam
kondisi biasa, jelas aku akan senewen. Tapi ini berbeda, karena dia klien
pertama. Klien resmi pertama dari bisnis abal-abalku.
"Bukan detektif kok. Terlalu berlebihan. Hanya membantu
orang-orang menemukan yang hilang. So,
apa yang hilang?"
Dia menggeleng pelan.
"Siapa yang hilang?", aku mengoreksi.
Dia diam. Matanya menerawang seolah sedang menimbang-nimbang
suatu keputusan. Tiba-tiba dia mengeluarkan secarik kertas dari tasnya.
"Boleh aku bertanya beberapa hal dulu sebelum
menjelaskan proyekmu?", katanya. Tiba-tiba aku ingin tertawa. Caranya
mengucapkan kata 'proyekmu' dan bagaimana dia menggenggam erat kertas di
tangannya dengan wajah serius terasa begitu menggelikan. Hanya kebetulan saja
ketika aku bisa menemukan anjing dalmatian Rama yang hilang dan laptop pacar
Rama yang dicuri orang. Dan aku jelas bercanda ketika aku bilang akan membuka
bisnis jasa pencarian barang atau orang hilang. Namun gadis di depanku ini
sepertinya menganggapku sekelas Sinichi Kudo dalam memecahkan kasusnya yang
entah apa.
"Oke. Monggo", kataku akhirnya.
"Namamu Surya Perwira?"
Aku mengangguk.
"Mahasiswa Teknik Informatika yang skripsinya tak
kunjung kelar?"
Walau sedikit nggonduk
aku mengangguk.
"Pergi kemana-mana naik vespa? Punya anjing namanya
Jessica?"
Keningku berkerut, namun aku lagi-lagi mengangguk. Tahu dari
mana?
"Hobimu baca puisi?", dia bertanya dengan nada
ragu.
"Eh, kalau itu ngaco!", seruku menginterupsi.
Bibir Nina mengerucut.
"Iya, aku memang suka membaca puisi. Tapi tidak seperti
yang kamu bayangkan. Bukan membacakan puisi seperti playboy jaman nabi musa.
Tapi menikmati untuk diri sendiri", jelasku membela diri.
"Apapun, deh. Berarti kita bisa lanjut", Nina
membuka lipatan kertas yang dipegangnya dengan takzim bak pujangga membuka buku
puisinya. "Ini", diangsurkannya kertas itu kepadaku yang kuterima
dengan tak kalah takzim. Apapun isinya, kertas itu adalah proyek pertama.
Disitulah kredibilitasku dalam bisnis tak jelas ini dipertaruhkan.
"Ini apa?", tanyaku.
"Baca saja", jawabnya.
Kertas itu berisi belasan daftar yang ketika kubaca acak
terlihat membingungkan.
"Apa yang harus aku lakukan dengan daftar ini?"
"Baca saja dulu, besok aku beri tahu apa hubunganmu
dengan daftar itu", katanya seraya beranjak dari duduknya. "Aku pergi
dulu", dilambaikannya tangan ke arahku dan pergi meninggalkanku yang masih
melongo di depan kertas itu.
Ditemani angin musim kemarau yang meniup jatuh daun-daun
beringin kering, aku menekuni daftar yang Nina berikan. Ah, jika proyek pertama
saja sudah absurd begini, aku tak lagi yakin pada kelangsungan bisnis ini.
............
Pukul delapan seperempat. Terlalu pagi untuk berkeliaran di
kampus bagi veteran macam aku ini. Tapi apa boleh buat. Klien yang meminta.
Kampus terasa begitu lengang. Tak ada pasangan yang berasik masyuk seperti biasanya
di bawah pohon beringin cinta, tempatku duduk menunggu ditemani seplastik es coffeemix.
Beberapa menit berselang sebelum akhirnya aku melihat sosok Nina
berlari kecil ke arahku.
"Sudah dibaca semua?", tanyanya seraya duduk di
sebelahku. Rambut basah-sehabis-keramasnya menguarkan aroma sampo yang
menyenangkan.
Aku mengangguk. "Apakah ini semacam daftar
harapan?", aku melambaikan kertas proyek darinya, "Semacam wishes list, begitu?"
"Bukan, itu bukan harapan. Harapan tak melulu terkabul.
Itu janji. Bukankah janji harus ditepati?"
Aku menelengkan kepala, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Lalu, tugasku?", tanyaku akhirnya saat Nina tak
kunjung melanjutkan.
" Bantu aku menepati janji-janji itu"
"Maksud kamu?"
"Iya, aku butuh kamu untuk menemani aku menepati itu
semua", Nina menunjuk kertas yang kupegang.
Kugaruk-garuk ujung hidungku, berpikir.
"Oke. Jadi seperti ini", aku membaca salah satu
daftar janji itu, "Makan pecel Mbah Nah Beringharjo. Apakah artinya aku
harus mengantar kamu ke Beringharjo dan menemanimu makan pecel itu?"
"Ehm, sebelumnya kamu
harus membantuku menemukan penjual pecel bernama Mbah Nah itu dulu,
karena aku belum tahu".
Aku mengangguk-angguk. Mulai paham dengan alur tugasku.
"Ini aneh. Mengapa kamu perlu ditemani kalau hanya
ingin menepati janji?"
Nina mendesah pelan. Bibirnya membentuk senyum enggan.
"Mau makan pecel saja aku harus mencari Mbah Nah. See? Aku butuh bantuan kamu untuk bagian
teka-teki macam itu"
"Oh, oke, I see.
Dan kalau aku boleh bertanya lagi, ini semua, siapa yang membuatnya? Jelas
bukan kamu. Pada siapa kamu menjanjikan ini semua?"
"Padamu negeri!", jawabnya asal. "Besok aku
kabari lagi kapan kita bisa mulai menjalankan misi".
Dan gadis itupun beranjak pergi. Meninggalkan aku yang sibuk
menganalisis kerumitan apa yang mungkin ditimbulkan sederet daftar janji.
.....
Sudah sekian minggu berlalu sejak daftar janji pertama kami
genapi. Janji-janji yang unik, seru, beberapa di antaranya konyol dan
kekanakan. Subuh-subuh foto
di tugu Jogja, sujud di titik nol, naik
becak, eh mengemudi becak dengan tukang becaknya sebagai penumpang keliling alun-alun,
foto bareng gajah dengan kostum gajah di Gembira Loka, nyanyi lagu
Yogyakarta bareng pengamen di lesehan malioboro, membuat celengan sapi bareng
mbah Cip si penjual gerabah di depan warung sate domba, foto ala prewed di Taman Sari, berjalan dengan
mata tertutup di antara beringin kembar Alkid yang sudah pasti gagal.
Gara-gara dia, aku tahu betapa sulitnya membuat api unggun di tengah hembusan
angin pantai Depok demi bisa makan ikan bakar ala film-film petualangan. Atau
serunya antri dini hari di dapur orang demi makan gudeg pawon. Belum pernah aku
lebih mules daripada ketika harus makan ayam gepuk Pak Made cabe lima belas
hasil racikannya. Dan tidak ada yang jauh lebih konyol daripada dua orang yang
menceburkan diri di kolam kampus demi mencari gelang perak yang dibuang si
pembuat janji. Kutebak, siapapun pembuat janji itu, dia pastilah orang dengan
inventivitas yang membuatku geleng-geleng kepala. Ada satu titik ketika aku
merasa daftar janji itu hanyalah semacam hasrat terpendam orang kurang kerjaan.
Namun entah kenapa, setiap baris janji yang kubantu untuk
dia tepati seakan membuka dimensi perasaan yang baru untukku. Bagai membuka
kota pandora, aku menemukan kejutan tak terduga setiap kali janji itu kugali.
Aku merasakan kepuasan yang hanya bisa didapat bukan karena memperoleh tapi
justru ketika melepaskan sesuatu.
.......
“Jangan lupa ya, Sur, jam 4 sore”, kata Nina di ujung
pembicaraan via telepon kami
semalam.
Seharusnya kemarin adalah pertemuan terakhir kami. Setelah
hari-hari penuh kegilaan dan kegelian, kukira naik komidi putar dan bianglala
di Sekaten adalah janji pamungkas yang harus kami, dia tepati.
Beberapa minggu yang kuhabiskan dengan intensitas dan tujuan
tak normal untuk ukuran dua orang yang sama sekali asing, entah mengapa
membuatku otomatis menyanggupi apapun permintaannya. Dan sore ini, saat
seharusnya aku menraktir Rama dengan uang komisi dari proyek ini, kami justru
bervespa ria ke bendungan di dekat kampus. Selama ini, aku sudah terbiasa
menyimpan keingintahuan dan menahan macam-macam pertanyaan ketika aku bersama
Nina. Senyum lembutnya setiap kali satu janji terpenuhi adalah jawaban dan
kesimpulan tanpa kata yang mampu membuatku berhenti mencari-cari.
“Bukannya semua janji sudah terpenuhi, ya? Mau ngapain lagi
ini?”, tanyaku sesampainya kami di bendungan itu.
Nina tak menjawab. Namun janji di luar daftar janji tentu
saja melanggar janji yang sudah kami sepakati. Jadi kali ini aku tetap bertanya.
“Janji apa yang masih kurang?”
“Janjinya memang sudah semua, Sur”, kata Nina dengan ‘nya’
merujuk pada entah siapa. “Tapi yang ini janjiku sendiri”
Aku mengangkat alis dan dia terkekeh pelan.
“Tenang, hanya satu janji, kok”
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, seuntai gelang perak yang kuingat pernah
kuambil di kolam kampus.
Nina memainkan gelang itu dan kulihat bandul huruf ‘F’nya
menjuntai di sela-sela jemarinya.
“Sudah setahun lebih gelang ini tenggelam di kolam kampus.
Aku justru heran waktu kamu menemukannya kemarin dulu. Aku pikir sudah hilang”,
katanya.
“Gelang ini dan daftar janji itu, diberi oleh orang yang
sama. Ya, dia memang manusia paling kurang kerjaan sedunia”
“Tidak juga. Dua manusia yang berusaha menepati janji-janji
itu malah jauh lebih kurang kerjaan”, selaku. Dia tergelak.
“Dia meninggal beberapa hari sebelum daftar janji ini
terkirim ke alamat rumahku. Seharusnya tenggat waktu janji ini adalah tahun
kemarin.Tapi kamu tahu kan istilah jaman sekarang? Susah move on…”
Oh, pastilah dia ini kekasihnya.
“Susah sekali. Dan baru sekarang ini aku akhirnya bisa.
Kupaksa untuk bisa. Namanya juga manusia, kalau nggak move on ya mau jadi apa aku nanti?”, katanya sambil tersenyum.
Aku tahu aku punya sederet pertanyaan. Namun seperti biasa,
senyumnya lebih dari cukup untuk membuat hipotesa. Dan saat ini, itupun sudah
membuatku puas.
“Apa janjimu?”, akhirnya hanya inilah pertanyaanku.
“Untuk melepas ini”, digenggamnya kuat-kuat gelang perak
berbandul huruf F itu, dan sambil memejamkan mata dia melemparnya ke bendungan
di depan kami.
Separuh diriku geli karena merasa ini seperti cuplikan film
Titanic. Namun separuh yang lain merasakan kelu dan ngilunya sebuah perpisahan.
Oh, seperti inikah yang orang bilang tentang move on?
Kami berdua terdiam menatap langit senja di depan mata. Senja
musim kemarau terlalu cantik untuk dilewatkan bahkan dalam momen semelankolis
ini.
“Oya, ini untuk kamu”, mendadak Nina berbalik dan
mengangsurkan bungkusan dari dalam tasnya kepadaku.
Komisi? Bungkusan ini terlalu besar untuk wadah komisi.
Kubuka bungkusan itu. Sebuah jaket.
Aku terheran-heran, karena ternyata aku dibayar dengan sebuah jaket. Itupun bukan jaket baru.
"Katanya, itu untuk yang berhasil membantuku menepati janji", tambahnya tanpa menatapku.
Aku terheran-heran, karena ternyata aku dibayar dengan sebuah jaket. Itupun bukan jaket baru.
"Katanya, itu untuk yang berhasil membantuku menepati janji", tambahnya tanpa menatapku.
Kubolak-balik jaket tersebut dan teraba olehku sebuah bordiran
di kerahnya.
Kubaca. Sebuah nama.
Aku terbeliak.
Fajar Rupawan.
Nama adikku.