Kupelankan
langkah, jam tujuh hanya tinggal beberapa menit lagi, dan aku tidak peduli.
Mungkin hari ini aku akan terlambat, gajiku bisa saja dipotong. Namun apa yang hadir
di depanku saat ini membuat segala seuatunya impas. Aku bagai dikutuk karena
tak sekalipun bisa melihatnya lagi kecuali dalam versi imitasi. Jika aku dan
kawan lama ini dapat berekonsiliasi, aku mungkin diberkati.
Dibingkai
langit pagi yang kelabu, aku melihat lengkung sempurna itu. Sebuah pelangi. Dan
angin sepoi bulan Juni bagai mendesah di depan muka kemudian meninggalkan jejak
kata, ‘Apa kamu tahu, dimana ujung
pelangi itu?’.
---***---
Malam itu aku bermimpi. Aku berlari. Ya,
hanya berlari. Aku tak tahu apa yang kukejar, atau apa yang mengejarku. Yang
aku tahu aku hanya berlari. Melintasi pematang sawah yang licin berlumpur.
Menyeruak daun-daun pohon singkong yang akarnya membuatku tersandung-sandung.
Sungai berair jernih menghadangku dan dengan tergesa kuseberangi jembatan
bambu. Tiba-tiba aku tergelincir dan jatuh ke sungai. Air sedingin es mendekap
tubuhku. Aku tak bisa bernapas. Lalu aku terbangun dengan tubuh basah karena
keringat dan jantung berdebar tak normal.
---***---
“Pulanglah”, semua orang mengucap nasehat
senada. Semua orang menyuruhku pulang. Kemana?
“Bisa jadi itu firasat”, yang lain
menambahkan.
Firasat? Akan apa?
Seharian aku bergelimang rasa ragu. Ada
yang berteriak jauh di dalam hatiku yang sudah kubekukan sejak lama. Berseru
menyuruhku luluh. Namun pencarian tanpa muara ini menahanku untuk tetap
tinggal, tak kemana-mana.
Lalu sebuah pesan singkat yang hadir di
ponselku sore inilah yang sanggup membuatku mengalah.
“Cepat pulang. Bapakmu sakit. Parah.”
---***---
Aku mengemasi barangku yang tak banyak.
Kujejalkan semua dalam ransel besar pemberian Bapak. Telapak tangan mungil menggenggam
lembut pergelangan tanganku.
“Apa kamu benar-benar mau pergi?”
Kujawab dengan anggukan.
“Biar saja dia pergi, Bu. Dia sudah besar.
Biar dia cari hidupnya sendiri”, kata Bapak.
Kata-kata yang bahkan masih menimbulkan
gema yang bersahutan dalam ingatanku hingga saat ini, walau sudah tahunan
usianya.
Tekadku membulat. Kusandang ransel di
pundak dan melangkah keluar rumah. Kuhampiri Bapak yang duduk di kursi rotan
kesayangan di beranda. Kucium punggung tangannya seperti hari-hari biasa saat
aku hendak berangkat sekolah. Namun kali itu tak ada tatapan hangat dan belaian
tangannya di puncak kepalaku. Kali itu tak ada kalimat ‘Hati-hati. Jangan
pulang kesorean’. Kali itu aku bahkan tak yakin kapan aku akan pulang.
Ibu berdiri menunggu di bawah pohon
rambutan dengan mata basah dan tangan yang berkali-kali meremas jemarinya
sendiri. Kupeluk Ibuku erat, dan berpaling sebelum dia melihat mataku
berkaca-kaca. Aku tahu ibu ingin menangis sekerasnya, namun ketabahan yang
mungkin disiapkannya selama ini membuatnya bertahan untuk hanya sekedar
meneteskan air mata. Digenggamnya tanganku sambil menyelipkan sesuatu. Dan yang
paling kuingat dari pagi terakhirku di rumah adalah suara ibu yang lirih
menendang telak hatiku, “Meski kamu tidak tumbuh di rahim ibu, bukan berarti
kamu tidak tumbuh di hati ibu”.
---***---
Jalanan rusak membuat bis yang kutumpangi
bagai bergerak dalam gelombang. Telingaku dijejali bisingnya suara kendaraan
yang berseliweran di balik jendela bis, tempat kepalaku kusandarkan. Kucoba
pejamkan mata lelahku. Perjalanan ini masih panjang dan aku ingin meminta jeda barang sekejap. Untuk
mengumpulkan daya aku butuh senyap. Perlu sesuatu untuk menyegel otakku dari
masa lalu. Namun ruang kedap mana yang sanggup membungkam suara Bapak dan Ibumu?
---***---
“Dahulu
kala, ada bidadari yang tinggal di khayangan. Ketika dia beranjak dewasa, dia
diperbolehkan turun ke bumi. Ayahnya berpesan, saat kau ingin pulang, carilah
ujung pelangi. Itulah jalan pulangmu. Jika kau sudah menemukannya, itu berarti
kau sudah di rumah”
Dari semua
dongeng yang bapak sering ceritakan dulu, hanya dongeng tentang ujung pelangi
yang masih kuingat. Selama beberapa
tahun, aku berusaha mengungkap fakta. Dongeng yang paling sering bapak
ceritakan padaku pasti menyembunyikan makna.
Dan dini
hari di dalam bis itu, aku
terjaga dalam remang, mencoba merangkai potongan dongeng yang teracak dalam
benak.
---***---
Angkutan
yang kutumpangi membawaku melintasi jalan aspal rusak dan berdebu yang membelah
hamparan sawah. Hijaunya padi dan sinar mentari pagi tampak serasi. Sungai
berair jernih di sisi jalan itu begitu menggoda, seolah menggamitku untuk turun
dan berendam di sana.
Tahunan
kutinggalkan tempat ini, namun segalanya masih tampak sama. Tempat ini bagai
tak mampu ditembus laju waktu.
Tempat ini bagai berada di antara jeda.
Aku tinggal
di kota kecil. Di sebuah kampung dimana pematang sawah bagaikan jalan utama dan padi bukan hanya tanaman penghasil
nasi namun juga penopang harapan. Di sini segala sesuatunya berjalan rampak.
Orang-orang bersyukur dan menikmati hidup sekeras mereka mencangkul. Aku sering
beralegori, jika ibukota seumpama musik rock, maka tempat tinggalku berirama bossanova.
Syahdu dan mendayu. Tempat ini berdenyut
lambat dan sedikit improvisasi hanya membuahkan tanya, “Nduk, kok baru pulang? Kemarin itu kemana saja?”, seolah aku hanya
pergi barang sehari. Seolah minggat dari rumah adalah kisah lumrah.
---***---
“Ibu dan Bapak sungguh tidak tahu.
Benar-benar tidak tahu”.
Hanya itu jawaban yang kudapat ketika aku
bertanya anak siapa aku sebenarnya.
Dibawa saudara ibu dari Jakarta. Tergeletak
berbalut selimut di kursi pojokan terminal dan tak ada satupun yang
mengakuinya. Menangis keras karena lapar. Orang menaksir umurnya baru beberapa
hari. Ibu dan Bapak yang tak kunjung mendapat anak meski sudah begitu mendamba,
menawarkan dengan sukarela untuk menjadi orang tua angkat bayi perempuan malang
itu.
Lalu sebuah celetukan tak disengaja membuatku
tercerabut dari tempatku berakar. Ini bukan soal kecewa. Hanya saja aku merasa
bagai digoncang gempa yang meruntuhkan jati diri. Sebesar apapun Bapak dan Ibu angkatku
menyayangiku, sebahagia apapun hidupku saat itu, aku terperangkap identitas
semu. Jadi, ketika aku pergi hanya dengan berbekal selembar foto usang yang
diselipkan ibuku di hari kepergianku sebagai satu-satunya panduan, yang
sesungguhnya kucari bukan masa laluku. Aku mencari alas, fondasi yang
mendasariku untuk bisa melanjutkan hidup lagi. Sebagai diri sendiri.
Dan itu hanya bisa kudapat jika aku
menemukan orang tua kandungku.
Tapi ini ibukota. Lebih dari sepuluh juta
jiwa beredar di dalamnya. Bagaimana foto sepasang remaja yang sudah terkoyak
masa mampu membantuku?
“Ini bagai mencari jerami dalam tumpukan
jarum”, kataku pada diri sendiri setiap kali. Dan hampir setiap malam selama
beberapa tahun ini, aku hanya mampu memandangi foto itu dengaan perasaan asing,
sementara pikiranku buyar dihembus pusaran tanya.
“Aku harus mencari ujung pelangi. Itu yang
Bapak bilang kalau aku ingin pulang”, putusku dalam hati.
Namun anak angkat yang durhaka pun punya
kutukannya. Aku tak pernah lagi melihat pelangi.
---***---
Aku sampai di ujung jalan dan satu lagi langkah aku bisa
melihat rumah. Jalan tanah berbatu itu tetap sama seperti saat aku dengan tekad
bulat menyusurinya menuju arah yang berbeda bertahun-tahun lalu. Kuhabiskan
hari-hariku selama belasan tahun berjalan dan berlari di jalan ini. Sembilan
belas, jumlah langkahnya kuhafal mati. Aku bisa sampai di depan pintu rumah
dengan mata terpejam. Setidaknya aku pernah beberapa kali melakukannya, dulu.
Kali ini, aku tak mau mencoba. Aku takut tersesat. Pencarian panjang tanpa
hasil ini membuat aku buta arah. Apalagi dengan apa yang disebut rumah.
---***---
“Nduk!”
Ibuku
berseru dan sedetik kemudian aku luruh dalam dekapannya. Aku tak bisa bernapas.
Bukan karena pelukan erat, namun luapan rasa yang tak kuantisipasi sebelumnya.
Kukira aku hanya akan cukup merasakan rindu. Tetapi pelukan ibu adalah pelatuk
kecil yang membobol tanggul emosi. Semua yang kutanam dalam hati membeludak
tanpa kendali.
Lucu. Aku
kehilangan separuh dari diriku bertahun-tahun lalu. Kuhabiskan hari-hariku
selanjutnya dengan mengais, mencari bagian yang hilang dari potongan hidupku
yang terserak. Lalu di sinilah aku, melihat kembali apa yang kutinggalkan dulu.
Separuh hidup yang kucari itu sesungguhnya tak pernah hilang. Akulah yang buta
dan tak melihatnya.
Di sisi
pembaringan Bapak, dengan tanganku yang tergenggam di tangan kurusnya,
kudapatkan ujung pelangi itu. Di sinilah rumah. Aku sudah pulang.