Ada seorang pemuda, yang selalu datang ke tempat ini seusai senja.
Bahu kirinya memanggul gitar tua peninggalan ayahnya yang mati muda dan sebuket
kembang dahlia digenggam di tangan lainnya. Pemuda itu akan duduk di tempat kesukaannya,
di bawah rerimbunan pohon akasia dekat dengan semak palma. Dia duduk sabar menunggu,
hingga mendengar lonceng angelus berdentang dari kejauhan. Saat itulah dia berdiri,
mendongak menatap sebentuk jendela tertutup di lantai dua.
Sesaat setelah lonceng angelus tak lagi terdengar, daun jendela
di lantai dua itu mengayun terbuka. Bagai sebuah pentas drama, bingkai jendela itu
adalah panggung pertunjukkannya. Lampu benderang menyorot dari dalam ruangan dan
menghasilkan sepetak cahaya di rerumputan. Lelaki itu lalu berdiri tepat di
dalam petak cahaya dengan gitar dalam pelukan. Tirai tipis biru muda melambai, lalu
bintang utama pun muncul lah.
Wanita muda itu bersandar di kusen jendela kamarnya. Angin
petang yang menggigilkan berhembus menyibak tirai yang tak tertutup sempurna. Di
waktu-waktu inilah, pemuda itu datang. Berdiri di bawah jendela kamar. Dengan
maksud dan tujuan yang tak pernah disampaikan. Namun, entah mengapa kehadiran
pemuda itu begitu dia tunggu. Begitu dia rindu. Disibakkannya tirai biru muda
hingga terbuka, lalu mulailah pemuda itu memetik gitarnya.
Tirai yang terbuka bagai instruksi tanpa kata bagi si
pemuda. Dari gitar yang disandangnya mengalunlah nada-nada indah. Angin
menerbangkannya hingga lantai dua dan disampaikan sebagai rangkaian kalimat
memuja. Sebongkah harapan menggumpal dalam hatinya. Semoga saja sang gadis
pujaan suka.
Gadis itu memejamkan mata. Meresapi setiap nada, seolah itu
adalah rayuan yang melelehkannya. Ya, dia meleleh karena sebaris melodi. Yang
dimainkan pemuda yang bahkan tak pernah didengarnya bersuara. Apalagi berteriak
memanggil namanya. Akan tetapi, wanita yang sudah terlalu muak dengan rayuan
semu lelaki pasti mengerti. Nada-nada indah itu tak pernah berucap kepalsuan. Semua
yang didengarnya tulus dan tak menuntut. Labuhan pamungkas, tempatnya berlabuh
tanpa perlu was-was.
Petikan gitar itu
berhenti. Sang pemuda menatap gadis di atas sana seakan berkata, sekian. Senyum
lebar mengusaikan rayuan dalam nadanya hari ini. Hanya itu yang sanggup
dilakukannya dalam nama ketidaksempurnaan. Dia tahu dia takkan sanggup menawarkan
kata-kata. Namun dia juga tahu, musik tak pernah gagal menyampaikan makna.
Sang pemuda mengacungkan
selembar kertas ke atas, hingga si gadis dapat membaca sederet kata tertulis di
atasnya. "Apa selanjutnya?"
Lalu gadis itu
melemparkan segulung kertas balasan. Huruf-huruf rapi tuan putri berbaris di
sana. "Salut d’Amour, Edward Elgar", itu permintaan selanjutnya.
Sebuah pekerjaan rumah yang akan dirampungkannya dengan sukacita. Beberapa hari
lagi dia akan kembali. Dengan gitar kesayangangan, memainkan lagu permintaan gadis
pujaan.
Petang datang terlampau
cepat. Ketika hari hanya menyisakan gulita, pemuda itu mengundurkan diri. Sebelum
pergi, pemuda itu tak pernah lupa satu hal. Setelah meletakkan bunga dahlia yang
dibawanya di bawah jendela, dia menyampaikan sepenggal isyarat. Telunjuk
menunjuk dadanya sendiri, kemudian disilangkannya kedua tangan yang jemarinya
terkepal di depan dada sebelum akhirnya mengarahkan telunjuknya ke atas, tepat
ke arah gadis itu berada.
Gadis itu tersenyum.
Dianggukkannya kepala sebagai tanda. Dia tahu, bahasa tanpa suara itu hanya
berarti satu.
Aku mencintaimu.