Tak banyak orang paham bagaimana matahari tenggelam. Tak
banyak yang tahu bagaimana ia menghilang. Tapi Mak Wati tahu itu. Dia paham. Mak
Wati mengamati setiap perubahan kuning ke jingga lalu ke merah muda dan violet
hingga menjadi ungu kelam yang matahari alami sebelum akhirnya tak tersisa
jejaknya di batas cakrawala. Mak Wati menunggui momen yang orang pandang
sekilas atau bahkan sama sekali tak diacuhkan.
Mak Wati tak
tahu kapan petang datang di tempat lain. Tapi di sini, petang datang ketika
Irul, sopir angkot yang biasanya mengantar penumpang paling penghabisan dari
arah kota, tersenyum maklum ke arahnya sambil menggelengkan kepala pelan. Petang
datang ketika Mak Wati sekali lagi berjalan terseok melewati jalanan berkerikil
dengan penerangan yang tersisa dari lampu PJU yang dipasang di perempatan jalan,
sendirian.
Bagi Mak Wati, matahari tenggelam dan petang adalah sejoli
pemupus harapan. Kode semesta yang menginstruksikan agar dia pulang. Mengusaikan
penantian yang berbulan-bulan dilakukannya dengen presensi maksimal, utuh tanpa
bolong sekali pun.
***
“Halo, Mak, gek apa?”
“Hayo gek telponan
karo kowe ta?”
“Hayo sakdurunge tak
telpon kuwi lagi apa, mak?”
“Marut telo, arep gawe
pothil aku?”
“Mak, aku sesuk sore
mulih”
“Tenane? Jam piro? Tak
pethuk nang prapatan yo”
***
“Ti, kok rung bali to?”,
Yu Nah, penjual mie ayam di perempatan jalan itu menegurnya.
Mak Wati menggeleng pelan.
“Nunggu sapa?”
“Yo nunggu Win, to”,
jawabnya.
“Wis meh maghrib,
balio sik wae. Mengko lak iso bali dewe to anakmu”, Yu Nah berujar
lambat-lambat sambil menuang saos merah merona ke atas gundukan mie dan sawi.
“Aku wis ngomong muni
arep methuk ki”
Lalu Mak Wati kembali menanti. Sesekali diusapnya kening
yang berhias keringat dengan ujung jilbabnya.
***
Suaminya sudah lama mati. Saat Windarti, anak satu-satunya,
masih balita. Sejak saat itu Mak Wati menjalani kehidupan monosentris.
Segalanya berpusat pada Win. Mulai dari membuat pothil, camilan kering dari
singkong, hingga menjadi buruh tani saat musim tanam dan panen padi tiba,
dilakukannya demi menghidupi Win. Adalah hal yang sangat sulit bagi Mak Wati,
ketika di usia Win yang setara dengan remaja lulus SMA –Ya, setara. Win tak
pernah bisa tamat SMA. Tabungan emaknya tak cukup menyokong biayanya hingga
lulus – Win memutuskan ikut tetangga yang mengajaknya pergi ke Jakarta. Mengadu
nasib di Ibu Kota. Mak Wati tak pernah sekolah. Tapi dia tak sebegitu bodohnya
hingga tak menyadari, tak banyak yang bisa dilakukan remaja lulusan SMP di kota
sebesar Jakarta. Mentok jadi pembantu rumah tangga.
“Mbok rasah lunga,
Win. Nang kene wae ngancani mak’e”
“Nek nang kene terus,
aku ra entuk pengalaman, mak”
“Pengalaman apa?
Palingo nang kono kowe mung dadi rewang. Nang kene wae, ngrewangi marut telo po
ani-ani”
Namun, tak urung Mak Wati melepasnya juga.
“Ati-ati nang Jakarta.
Ora sah macem-macem. Mulih nek duitmu wis klumpuk akeh wae”, demikian pesan
singkat Mak Wati untuk anak yang selama 17 tahun tak pernah lepas dari
pandangannya lebih dari 1x24 jam.
Pohon rambutan
binjai sedang berbuah lebat saat Win berangkat.
Dan ini
sudah kali kedua anak-anak kecil rajin bersorak sorai di samping rumah Mak
Wati, merayakan keberhasilan beberapa dari mereka meraih buah-buah rambutan binjai
yang memerah. Kali kedua pula Win tak ikut menikmati buah yang pohonnya dia
tanam sendiri. Windarti belum juga kembali.
***
Bukan hal
aneh bagi Yu Nah, melihat Mak Wati duduk di kursi bambu depan warung mie
ayamnya setiap sore. Matanya nanar memandang ke arah barat. Terbagi antara
menatap matahari yang beranjak tenggelam atau mengamati tikungan di ujung
jalan, di mana sewaktu-waktu angkot ungu itu nampak melaju. Adalah hal lumrah
bagi Irul dan sopir-sopir angkot lain, yang hampir setiap sore selalu mendapat
pertanyaan serupa, “Win, ora nunut kowe
yo?”, yang biasanya mendapat jawaban, “Ora
je, Yu”, atau hanya sekedar gelengan kepala dan senyum mafhum.
Ribuan
panggilan telefon hanya dibalas suara wanita tak dikenal. Puluhan surat tak
pernah ada balasan. Karena Win sudah berkata akan pulang, Mak Wati tak punya
pilihan selain menunggunya datang.
“Saya sudah
cari di kosnya, di tempat kerjanya, tapi nggak ketemu Windarti, Mak Wati”,
begitu kata Wisnu, cucu Yu Nah yang tinggal di Jakarta.
Kala itu,
Mak Wati hanya mampu menanggapi dengan kucuran air mata. Tak punya daya selain
untuk bertanya-tanya.
Windarti
adalah porosnya. Pusat gravitasi yang menjaganya tetap mengorbit pada tempat
yang semestinya. Kehilangannya berarti bencana.
Semestanya
tercerai berai.
***
Sore itu
hujan. Tak ada adegan matahari tenggelam yang menemani. Langit menggelap
terlampau cepat, bahkan ketika angkot ungu terakhir belum tiba di ujung desa.
Mak Wati
masih menanti.
Yu Nah
berhenti sejenak dari kesibukannya di depan gerobak mie, menghampiri wanita itu
dan bertanya hati-hati.
“Ti, kowe arep nunggu anakmu tekan kapan?”
Sungguh
retoris. Apakah menanti punya batas waktu tertentu? Percakapan resiprokal
mereka terhenti belasan bulan yang lalu. Tak ada kabar satupun dari Win setelah
telefon terakhir ditutup kala itu. Namun ibu tetaplah ibu. Merekalah yang
paling teruji dalam hal menanti.
“Nganti Win bali, Yu”, hanya itu
jawabannya.
Mak Wati
terdiam, dibungkam suara rintik hujan.
Sayup-sayup
didengarnya azan dari kejauhan. Sebuah panggilan yang masuk merasuk di sela-sela
rasa yang saling silang bertabrakan. Resah, gelisah, putus asa, takut, kalut,
secuil harap. Suara itu merangkum, menjadikannya satu. Suatu kesimpulan ringkas
yang paling mudah dipahaminya tanpa pretensi.
“Yu Nah, aku tak nang mesjid sik yo”
Di ujung barisan
paling belakang, seorang wanita bersujud khusyuk. Dalam tiap patah doa yang
terucap, kepasrahannya tumpah. Ketabahannya telah melampaui jatah, mewujud
lewat butiran air mata yang membasahi sajadah.
***
Pohon
rambutan binjai sudah berbuah lagi. Mak Wati masih setia menanti di kursi bambu
depan warung mie ayam di waktu-waktu matahari bersiap tenggelam. Senja telah
jadi teman setia dan petang yang datang tetap menjadi bel pulang. Tak perlu
lagi pertanyaan. Karena menanti adalah satu-satunya jawaban. Ditahannya harapan
agar jangan sampai berlalu. Namun, hingga petang tiba menyuruhnya pulang,
Windarti tak pernah turun dari angkot ungu itu.