“Mau ke
kampus?”, Bapak bertanya.
“Ya”, aku
menjawab.
“Nggak
sarapan dulu?”, tanya Bapak lagi tanpa mengalihkan tatapannya dari koran yang
sedang dibacanya.
“Nggak”,
jawabku ringkas sambil melirik telur dadar di meja makan dan berlalu
cepat-cepat.
Semacam
itulah hari-hariku bersama Bapak. Begitu kaku dan membosankan. Hanya berisi
tanya jawab standar, datar dan hambar.
Mungkin di
kehidupan sebelumnya kami berdua adalah anjing dan kucing, dan karma
ketidak-akuran masih tersisa bahkan hingga kami berdua ditakdirkan menjadi
bapak beranak. Sepanjang yang kuingat, tak pernah ada masa damai. Yang ada
hanyalah masa-masa gencatan senjata, masa dimana kami berdua lelah berduel
dalam pertandingan yang kami buat sendiri. Jika anak-anak lelaki lain biasa
pergi memancing atau menonton sepak bola bersama ayahnya, satu-satunya hal yang
sering kami lakukan bersama hanyalah saling melempar kalimat-kalimat tajam.
Hari-hariku dipenuhi upaya menekan emosi sementara hari-hari bapak dipenuhi
suara pintu dibanting.
Kebekuan
hubungan kami mencapai kulminasi ketika aku lulus SMA dan memutuskan untuk
secara terbuka membelot dari titah Bapak agar aku masuk ke Fakultas Kedokteran.
“Desain
Grafis?”
“Iya”
“Mau jadi
tukang gambar?”
Seenaknya
saja merendahkan pilihan orang.
“Kenapa nggak
jadi dokter aja? Biar bisa bantu orang sakit?”
“Nggak suka.
Ketemu orang sakit tiap hari itung gak enak. Lebih nyenengin ketemu orang sehat”
“Setidaknya
kamu bisa nyenengin orang yang kesusahan”
“Buat apa
kerja keras nyenengin orang lain kalau kita sendiri nggak seneng”, sebisa mungkin
aku mengelak namun kurasa Bapak tak menangkap titik esensial dari kalimatku
itu. Kebahagiaan anak mungkin lolos dari perhatiannya yang terdesak gengsi.
“Roby, anak
Om Joko saja masuk kedokteran. Sekarang sudah semester enam”
Bapak akhirnya
mengeluarkan jurus perbandingan. Biasanya hanya kutanggapi dengan diam, namun
kali ini aku menolak untuk pasrah. Pak, data saja kalau mau dibandingan harus
pakai uji statistik, apalagi ini manusia, anakmu sendiri. Aku menolak
dibandingkan, mengingat prestasi
terbesarku hanyalah kemampuan menyantap ludes masakan Bapak yang rasanya kadang
mirip air bekas kobokan.
Bukannya aku
tidak suka menjadi dokter, setidaknya itu cita-cita naif sebagian besar anak di
seluruh nusantara, tapi mungkin bapak lupa kalau menjadi dokter juga butuh
modal intelegensi di atas rata-rata. Dan Bapak mungkin lebih lupa, darimana
kemampuan otakku diturunkan. Alih-alih menjadikan keterbatasan intelegensi
sebagai motivasi, aku menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Bapak.
“Roby kan
pintar. Om Joko juga pintar, calon Profesor. Sudah dari nenek moyang mereka tuh
pintarnya. Pintar kan turunan”
Sepertinya
aku menekan tombol yang benar karena Bapak lantas menghela nafas panjang dan
terdiam sejenak. Tapi Bapak ternyata tetap melanjutkan agresinya.
“Kamu juga
bisa asal usaha. Ikut bimbingan belajar atau les kan bisa”
Kini aku
yang menghela napas panjang. Aku bisa saja ikut les, bimbingan belajar,atau
segala bentuk pemaksaan pada keterbatasan fungsi otak anak manusia. Namun, atas
nama perlawanan terhadap penindasan kebebasan memilih, aku berkeras untuk
menolak Bapak. Jika aku menuruti segala kemauan Bapak, Bapak akan terbiasa menggiringku,
membuat aku jadi tempat gengsinya bertumpu.
“Aku gak
mau, Pak”
“Kenapa kamu
nggak pernah mau nurut?!”
“Kenapa
Bapak suka memaksa?!”
Aku semacam
hendak melanjutkan kalimat itu, tapi akhirnya aku menahan diri dan menelan
sisanya. Kenyataan bahwa hidupku masih sepenuhnya bergantung pada Bapak
membuatku diam. Namun, kenyataan bahwa aku dan Bapak hanya dipisahkan segaris
silsilah tapi terasa seperti terpisah jutaan kilometer membungkamku dengan cara
yang lebih menyakitkan. Bapak satu-satunya orang terdekat yang kupunya, namun
kehadirannya tak pernah kurasa utuh dan nyata. Kecuali suara perintah dan
komandonya.
....
Aku tak pernah
masuk Fakultas Kedokteran seperti perintah Bapak dan dengan semangat
pemberontakan tetap masuk sekolah tukang gambar.
“Menggambar
itu suatu hal yang orang lakukan di waktu luang. Itu cuma buat hobi. Tidak bisa
jadi mata pencaharian”
“Ya,
suka-suka Bapak saja lah”
Demikianlah,
hidup kami tak lagi bagai anjing dan kucing. Kami berdua bagai hantu bagi satu
sama lain. Eksistensi kami antara ada dan tiada. Ada selapis membran
semipermeabel yang membentang menjaraki kami berdua. Lembar pemisah tak kasat
mata yang hanya dapat ditembus sedikit hal, seperti kalimat, “Pak, bulan depan
harus bayar SPP”, atau “Uang saku kamu sudah Bapak transfer”.
Aku masih
mujur karena Bapak toh tetap mau membiayai tukang gambar sekolah.
Sesungguhnya
ada yang menyenangkan dari perang dingin di antara kami. Setidaknya kami jadi
berhenti saling menyerang dan menyakiti hati. Namun mau tak mau aku harus
menyadari, ada lubang menganga di rumah ini. Saat aku lengah, aku bisa tertelan
di dalamnya. Kemanapun aku melangkahkan kaki, tak pernah aku merasa lebih
kesepian daripada di tempat ini.
.....
“Baca ini
Sob. Cocok buat kamu”, Bang Andre mengangsurkan selembar kertas kepadaku. Artikel
yang diprint dari sebuah laman web.
“Apa ini,
Bang?”
“Baca
sajalah”
Sebaris
kalimat yang ditandai stabilo warna merah muda menarik perhatianku.
“Sebuah pelukan hangat dapat
meningkatkan rasa aman, nyaman dan saling memiliki. Rasa tersebut adalah dasar
dari setiap hubungan”
“Maksudnya
apa ni, Bang?
“Ini jalan
keluar buat hubungan kamu dan Bapakmu yang kayak Palestina versus Israel itu.
Perang nggak tamat-tamat”
“Hah?”, aku
tak paham.
“Aku baca
artikel ini dan langsung ingat kamu, Sob. Kalau kamu mau hubunganmu dan Bapak
kamu membaik coba ikuti tips di artikel itu. Rajin-rajinlah memeluk Bapakmu”
Aku
mendengus. Rajin berpelukan? Memangnya kami teletubbies?
“Bang, segala
bentuk konflik yang terjadi di antara kami, itu semua Bapak yang memulai. Kalau
ada yang harus memperbaiki hubungan, seharusnya itu Bapakku, Bang”
“Kamu
sebagai anak mbok ya mengalah”
“Ooo...tidak
bisaaa. Yang lebih tua yang seharusnya mengalah”, bantahku.
“Begini sob.
Kelak kamu akan paham, bahwa umur dan mengalah tak berkorelasi secara linier.
Umur hanyalah ukuran naif yang diciptakan manusia, yang selalu ingin meregresi
semua hal di dunia. Yang lebih tua yang mengalah. Yang lebih muda yang dimanja.
Sejatinya dunia tak berjalan dengan logika semacam itu”
Aku melongo.
Kata-kata Bang Andre kucerna perlahan.
“Tapi okelah
kalau kamu berpikir seperti itu. Kita pakai pendekatan terbalik”
Ngomong apa
ini anak?
“Jadi, Bapak
kamu memang sudah tua kan? Berapa umur Bapakmu?”
“’ma puluh”
“Umurmu?”
“Dua puluh”
“Nah, umurmu
bahkan nggak ada separuhnya sob. Kamu sering bilang kamu capek menghadapi Bapak
kamu. Apa kamu nggak pernah membayangkan betapa capeknya Bapakmu menghadapi
kamu? Kalau kalian ini handphone, baterai Bapak kamu tinggal separuh dari
punyamu. Energimu masih banyak, jadi mengalah lah”.
“Aku nggak
biasa beradegan mesra begituan, Bang. Apalagi peluk-pelukan”
“Belajar lah.
Mumpung masih sempat. Kalau sudah tak ada Ayah macam aku ini, menyesal tiada
dua kamu nanti”.
......
Pagi itu, kuputuskan untuk mencoba saran aneh dari Bang Andre.
“Pak, pergi ke kampus dulu”, pamitku seraya menghampiri Bapak. Kikuk,
aku mencoba melakukan usaha pendekapan. Kulihat Bapak kebingungan. Aku
buru-buru pergi tanpa menoleh lagi.
Usaha pertama memeluk Bapak berakhir dengan aku yang menumbuk keras
dada Bapak dengan dadaku. Kami, dua boneka teletubbies yang gagal.
.......
Sulit sekali
memeluk lelaki tua, kaku dan keras kepala, yang setiap harinya memarahi dan
menekanku di segala bidang kehidupan, - apalagi memeluk dengan penuh perasaan. Tapi
aku tak bisa berhenti di tengah jalan. Misi ala Bang Andre harus sampai di
tujuan.
....
Memeluk
adalah perkara mudah. Gengsi lah yang membuatnya jadi susah. Kami terlalu lama
berjalan sendiri-sendiri. Jurang yang terlanjur membagi dua dunia kami membuat
segala wujud keakraban terasa begitu muluk. Bahkan hanya untuk memeluk. Butuh
beberapa hari dan beberapa improvisasi hingga akhirnya aku bisa memeluk Bapak
dengan layak dan sepantasnya. Masa bodoh walau bapak hanya berdiri kaku tanpa
respon. Saraf kasih sayangnya semacam sudah putus sejak masa remajanya.
.....
Siang itu,
kulihat Bapak duduk di teras belakang. Kepala Bapak tertunduk menekuni sesuatu. Dari belakang hanya nampak punggung yang
sedikit melengkung. Aku ingin segera memalingkan muka, tapi entah mengapa punggung
itu terlihat begitu kesepian. Sendirian. Sebelum aku sadar sepenuhnya, aku
sudah bertanya.
“Bapak
sedang apa?”
Ritual
peluk-memeluk itu mungkin sudah mencapai efek magisnya karena tak seperti
biasanya, aku bertanya bukan untuk basa-basi. Tanyaku punya isi. Aku ingin Bapak
menjawabnya. Karena itu aku tak lantas pergi. Kutunggu Bapak membuka suara.
“Handphone Bapak
gak mau hidup”, Bapak menatapku dengan wajah bingung.
Kuambil ponsel
dari genggamannya. Kuotak-atik sebentar.
“Ini perlu
diservice, Pak. Bapak pakai
handphoneku dulu saja”, kataku sambil mengulungkan smartphone milikku.
Bapak
menerima dengan wajah makin bingung.
“Eh, Bapak
gak bisa pakai yang beginian”, kata Bapak lirih dan malu-malu.
Teknologi
berkembang terlalu cepat akhir-akhir ini. Menyisakan generasi lawas yang tak
punya cukup energi terseok-seok mengejarnya. Macam lelaki tua berponsel
monokrom di sampingku ini.
“Ya sudah,
sini aku ajari”
Satu jam
berikutnya kuhabiskan dengan mengajari Bapak menelepon dan menerima telepon,
mengirim dan menerima sms, memutar musik, bahkan selfie. Beberapa kali diselingi gerutuan dan komentar gemas karena
Bapak susah sekali paham dan mudah lupa. Ah, Bapakku memang sudah tua.
“Bapak jadi
ingat, jaman kamu SD dulu, bapak yang mengajari kamu main tetris dan nitendo. Tapi
kamu nggak se’lemot dan sepikun bapak.
Hahahaha...”, lalu Bapak tertawa. Renyah sekali. Tawa yang tak pernah kudengar
sejak sangat lama.
Aku
kehilangan ibuku beberapa tahun lalu. Tapi aku kehilangan bapakku jauh lebih
lama daripada itu. Dan tawa tadi, tawa tadi membuatku menemukannya kembali.
.....
“Pak, aku
berangkat kuliah”, aku menghampiri Bapak dan bersiap melakukan jurus memeluk
yang sudah mulai mengalami kemajuan. Namun, sebelum aku sempat meraih Bapak,
kurasakan lengan Bapak melingkari bahuku. Bapak memelukku. Erat sekali. Dan lama.
Ada sesuatu
dalam pelukan Bapak yang membuatku enggan melepasnya. Bapak berbau masa lalu. Wangi
bapak adalah campuran sabun yang sudah kami pakai sejak aku balita dan minyak
rambut Bapak yang hanya bisa didapat di toko-toko kelontong cina yang tetap
buka karena tuntutan tradisi turun-temurun semata. Wangi yang mengingatkanku
pada hari-hari yang telah lalu. Hari-hari saat Bapak menggendongku di
punggungnya. Saat Bapak memboncengkanku di motor kreditnya, saat Bapak
mengajariku naik sepeda, saat Bapak membantuku mengerjakan PR matematika. Hari-hari
saat kami masih bersahabat. Dan aku menyadari sesuatu. Aku rindu Bapakku. Rindu
sekali.
Kulepaskan pelukanku
dan cepat memalingkan wajah sambil berujar lirih, “Pergi dulu ya, Pak”.
Tak kuijinkan
Bapak memergoki air mata yang terperangkap hendak membobol bendungannya.
Tepat di
pelukan Bapak tadi, aku menyadari, kami berdua sepertinya lupa bahwa
sesungguhnya kami saling menyayangi.
.....
Mungkin Bang
Andre dan artikel itu aneh. Tapi apapun itu, mereka benar. Pelukan
menyelamatkan hubungan kami. Bapak berhutang banyak pelukan kepadaku, dan kini
sepertinya berniat melunasinya. Kini kami berdua tak lagi seperti anjing dan
kucing. Kami adalah teman yang saling belajar menemukan kembali kesejatian
kasih dan sayang yang digariskan atas kami. Tak pernah kusangka sebelumnya, hingga
hari ini, pelajaran paling berharga yang pernah kudapat adalah belajar memeluk
Bapak.