Aku tak
ingat, kapan tepatnya kita berjumpa. Kapan aku melihat engkau untuk pertama
kali. Kapan engkau memanggil namaku. Aku tak ingat bagaimana aku mengenalmu,
atau seperti apa pertemuan kita yang pertama. Yang kuingat adalah bahwa kaulah
yang pertama kali kusebut saat aku merasa takut. Kaulah yang pertama kali
kurindukan saat aku kesepian.
Aku ingat,
wangimu adalah penghantar tidur paling manjur. Walau kau selalu bernyanyi
dengan nada yang salah dan lirik yang keliru, namun suaramu adalah kehangatan abadi yang selalu membuatku
rindu. Aku ingat, boneka pertama yang kau belikan untukku. Boneka biru yang
kuminta setengah merajuk, dan kau mengalah tak jadi membeli bedak karena aku
tak mau pulang tanpa boneka itu. Aku juga ingat, kau membelikanku piano mini
merah jambu dan mengajariku memainkan lagu Ibu Kita Kartini sambil bernyanyi. Aku
mencorat-coret kertas-kertas kerjamu dan kau hanya berkata, ‘Wah, sudah bisa
menulis ya. Hebat!”, sambil mengacungkan ibu jari.
Saat aku remaja, labil dan penuh emosi, kau
tak pernah berhenti bersabar untuk memahami. Nasehat yang kuabaikan, permintaan
yang kutolak, kau jawab dengan ‘Ya sudah, tidak apa-apa’. Kau tidak pernah
mengajariku untuk menjadi sempurna karena bagimu aku adalah kesempurnaan yang
pernah kau punya. Kau tak pernah menuntut apapun karena satu-satunya yang kau
harapkan dariku adalah agar aku sehat dan bahagia.
Saat aku
harus pergi jauh dari rumah kau bilang ‘Rasanya seperti ada yang tersedot
keluar’, namun kau tak melepasku dengan air mata seperti di film drama karena
kau tahu aku mampu menjaga diri. Kau berkali-kali bertanya kabar yang kuanggap
berlebihan tanpa aku tahu bahwa khawatir itu ternyata menyakitkan. Kau sering
bilang aku mirip bintang korea, padahal jelas-jelas itu khayalanmu saja. Kau juga
satu-satunya orang yang menganggap aku kurus bahkan saat berat badanku naik
beberapa kilo. Bagimu, akulah gadis tercantik yang pernah ada di dunia.
Kau pernah marah padaku, tentu saja. Saat
aku tidak mau makan, saat aku bermain-main dengan pisau dapur, saat aku
kelayapan sepulang sekolah, saat aku mengunyah kapur barus karena kusangka
permen. Namun aku lupa bagaimana kau marah, karena ketika aku beranjak dewasa
kau tak pernah melakukannya lagi. Bagimu aku sudah besar dan tahu mana yang
berbahaya dan tidak untuk diriku. Suatu saat kau menyuruhku tidur siang
dan aku tak menghiraukanmu. Kau marah, aku balas marah padamu lalu pergi
bermain ke rumah tetangga. Aku pulang dengan jempol kaki berdarah-darah karena
tersandung meja tetangga. Kukira kau akan menyalahkanku, namun ternyata kau
hanya tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa, jangan menangis”, lalu kau
mengobati lukaku dan memelukku hingga aku berhenti menangis.
Aku tahu,
aku tak pernah menuruti nasehatmu yang selalu menyuruhku membawa payung saat
hari-hari mendung, namun kau lah orang yang kurepotkan saat aku jatuh sakit.
Kau selalu mengingatkanku ‘Jaga kesehatan, jangan lupa makan’, tapi aku jarang
peduli apakah kau sudah makan, apakah kau sakit atau kurang enak badan,
lelahkah kau setelah seharian bekerja, apakah kau ingin makan sesuatu atau
pergi ke suatu tempat yang kau impikan.
Aku takut
menangis di depanmu, karena jika kau tahu aku terluka, kau pasti akan menangis
lebih keras. Saat aku mengalami masa-masa sulit, wajahmu yang selalu kuingat
dan membuatku kuat. Saat aku lebih dewasa dan tahu bagaimana rasanya kecewa,
aku sadar betapa sulitnya mencintai tanpa pamrih, seperti yang kau lakukan.
Maafkan aku
atas banyak hal. Atas semua yang kusampaikan dan yang tak mampu kusampaikan.
Maaf karena sering membuatmu kecewa. Maaf karena mengabaikanmu. Maaf karena
membuatmu kesepian. Maaf karena jarang membalas pesanmu dan selalu menutup
telepon lebih dulu. Maaf karena aku tak tahu apa makanan kesukaanmu. Maaf
karena selalu membuatmu menunggu kabar dariku dan karena tak pernah menanyakan
kabarmu. Maaf karena sering tak memakan masakan yang kau masak susah payah. Maaf
tak pernah membelikanmu sesuatu seperti saat dulu kau selalu memenuhi
permintaanku. Maaf karena selalu menepis tanganmu yang ingin membelaiku. Maaf
karena aku kadang tak suka saat kau memelukku. Maaf karena pernah ada suatu
masa ketika aku ingin kau adalah orang yang berbeda. Maaf karena tak pernah
bisa mencintaimu sebesar kau mencintaiku.
Januari 2013
Surat itu
masih tersimpan rapi di laci. Sudah seminggu lamanya sejak aku menulisnya. Jika
aku masih punya kesempatan untuk meminta, aku berharap aku masih bisa terbangun
kembali, terbebas dari belitan selang infus, tabung oksigen dan segala macam
alat yang memacu jantungku tetap bekerja.
10 menit saja cukup. Hanya untuk membacakan isi surat itu untuknya.
Hanya untuk memeluknya dan mengucapkan ‘aku mencintaimu’ untuk pertama dan
terakhir kalinya. Hanya agar wanita ini, yang duduk memejamkan mata sambil
berdoa di sisiku yang terbujur kaku, tahu bahwa dialah ibu terbaik di dunia.