Takdir Hujan


Adalah suatu hari melelahkan di penghujung September saat aku pertama kali berjumpa dengannya. Aku sedang mengayuh sepedaku sepulang dari kampus setalah berjam-jam berjibaku dengan tugas akhir semester, saat tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. 
Kukayuh sepedaku buru-buru menuju kapel kecil di sudut jalan kampus. Kapel itu memiliki beranda yang cukup lebar untuk melindungi dari tampiasan air hujan.
Aku berdiri di sebelah sepeda yang kuparkir di depan pintu kapel sambil memandangi tetesan air hujan yang menghiasi sore dingin itu bagai manik-manik transparan yang disebarkan langit. 
Entah karena terlalu asik memandangi hujan atau memang dia hadir bersama manik hujan yang diturunkan dari langit, yang jelas aku tidak ingat bagaimana dia bisa tiba-tiba berdiri diam di sana. Mungkin beberapa menit yang lalu. Atau beberapa jam, aku tidak tahu.

Gadis itu mungil. Tingginya kira-kira hanya sebahuku. Kutaksir umurnya 2 atau 3 tahun di bawahku. Rambutnya hitam lurus sebahu. Pandangannya menerawang ke depan, menembus jutaan tetes air hujan dan terpaku entah pada apa. 
Dia tak bergeming saat mataku menelusurinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sesaat kukira dia tidak bisa berkedip atau bahkan bernapas. Dan ketika imajinasiku sedang membayangkan dia tiba-tiba terbang melayang atau pelan-pelan menjadi transparan sebelum akhirnya menghilang, tanpa aba-aba dia menelengkan kepala dan berpaling ke arahku. Aku berjengit kaget karena gerakan mendadak itu. Wajahnya, saat kami saling menatap, tak punya ekspresi. Datar tak wajar. 
Namun matanya, dua butir buah badam yang kuketahui berwarna coklat tua keabuan di perjumpaan berikutnya, entah mengapa seakan menyimpan selusin emosi.
Ingin tahu, tatapan itu melibas jarak dua meter yang memisahkan kami dan menancap menembus jantungku bagai anak panah penasaran yang menginginkan penjelasan.
Aku terpaku diam di tempat dan pasti terlihat seperti orang bodoh karena mulutku menganga dan baru terkatup setelah melihatnya mengangguk dan menolehkan kepala kembali menatap ke depan.
Di usiaku sekarang ini, aku telah banyak bertemu gadis-gadis cantik dan memesona. Duduklah di hall kampusku dan 10 jari tak akan cukup untuk menghitung banyaknya mahasiswi cantik yang melintas. Mereka jauh lebih cantik daripada gadis mungil di sampingku ini. Tapi ada sesuatu yang menarik darinya. Sosoknya, wajahnya, caranya memandang hujan, caranya menatapku, aku tak paham namun sesuatu itu menimbulkan sensasi asing yang menjalar dan menggeliat di dadaku. Gadis itu membuatku ingat rumah.
Belum usai sensasi itu menjalar-jalar di dadaku, gadis itu sekali lagi menoleh ke arahku, mengerjapkan mata dua kali, lalu tanpa suara atau sepatah kata dia berbalik pergi. Dress biru mudanya berkibar tertiup angin saat dia menembus rintik hujan tanpa payung. Mataku menatap lekat punggungnya dan kudapati dia melompat-lompat riang sebelum akhirnya hilang ditelan tikungan jalan.
Sekian menit kurenungi kehadirannya yang tanpa tanda, kepergiannya yang tiba-tiba dan keanehan bahwa jika dia pergi begitu saja walau hujan masih deras dan akhirnya dia basah, lalu untuk apa dia tadi berteduh. Saat akhirnya aku tak mendapat pencerahan akan peristiwa tadi, kuputuskan untuk menutup kebingungan itu dengan kesimpulan klise. Anggap saja kebetulan semesta.

Dua hari lamanya gadis itu menghuni pikiranku. Saat kuceritakan dia pada Asep, teman baikku, Asep hanya berkata, “Paling anak desa sekitar sini. Atau jangan-jangan hantu kapel yang penasaran sama kamu”. 
Rasa penasaran tanpa jawaban memuaskan itu hampir saja hanya berumur dua hari, jika saja sore itu, sore kedua setelah perjumpaan kami yang pertama, tidak turun hujan.  
Seperti yang sering terjadi di awal bulang penghujan, sore itu saat sebenarnya matahari bersinar terang, hujan ringan turun tanpa terduga.
Aku ketika itu sedang duduk berkutat dengan tugas dikelilingi serakan kertas di sudut sepi hall kampus saat mendadak merasakan dorongan untuk mendongakkan kepala dan memandang ke luar. Seolah ada seseorang yang membisikkan sesuatu di telingaku, sesuatu yang merasuk masuk ke pikiranku dengan intensitas tanpa suara. Sesuatu yang membuatku tiba-tiba teringat sore hari hujan saat aku dan gadis itu berjumpa.
Aku memberesi barang-barangku dengan tergesa dan berlari mengambil sepeda lalu bergegas mengayuhnya menuju kapel sudut jalan itu.
Seperti yang kuharapkan, seolah-olah kami sudah berjanji untuk bertemu lagi, gadis itu ada di sana. Aku berhenti di depan kapel lalu berlari menuju beranda dengan gaya seolah tak sengaja berteduh di sana. Aku beringsut mendekat dan dengan ekor mata kuamati dia. Rok coklat, blus putih, rambut dikepang. Kuno namun menggemaskan. Sinar matahari sore yang menyusup di antara awan mendarat lembut di wajahnya yang mulus. Tunggu, hujan dan sinar matahari, bukankah seharusnya ada pelangi? Ah, anggap saja Tuhan mengirim gadis ini sebagai ganti.
Gadis itu maju selangkah lalu mendongak menatap langit.
“Wah, hujan monyet”, dia berujar lebih pada dirinya sendiri.
“Hah? Apa?” pertanyaan itu terlontar begitu saja tanpa kusadari.
Gadis itu menoleh kaget seolah baru menyadari kehadiranku di tempat itu.
“Maaf. Tadi kamu bilang apa ya?”
“Oh, itu, eng, hujan monyet itu maksudnya apa?”
Gadis itu tersenyum. Lesung pipi terbentuk di garis senyumnya.
“Kalau hujan turun saat matahari bersinar terang, itu namanya hujan monyet. Dan kalau beruntung, setelahnya kita bisa melihat pelangi”.
Aku mengangguk-angguk, “Saya beruntung kalau begitu”.
“Bagaimana bisa? Tidak ada pelangi lho”
“Ada kok. Saya lihat itu di mata kamu”.
Sesaat setelah kalimat itu kuucapkan, aku berharap bumi menelanku bulat-bulat. Aku berdiri canggung menahan malu, dan tiba-tiba gadis itu tertawa.
“Kamu lucu”, katanya di sela tawa.
Bingung, namun akhirnya aku ikut tertawa juga.
Sore itu, hujan monyet, aku dan dia, tawa kami berdua. Kuharap ada yang bisa membingkainya.

Baru keesokan harinya aku sadar, aku bahkan belum tahu nama si gadis hujan monyet itu. Dalam hati aku berharap semoga hari ini turun hujan.
Namun rupanya butuh dua sesi keberuntungan untuk bisa tahu namanya karena dua hari ini tidak turun hujan. Saat akhirnya hujan turun siang menjelang sore, aku bahkan meninggalkan kelompok diskusiku dengan buru-buru.
“Ada apa sih?” tanya Asep bingung.
“Hujan, Sep!” sahutku sambil berlari.
“Lutung aja tahu kalau ini hujan, bego! Kamunya yang ada apa?” teriak Asep.
Aku tak sempat menjawab. Takut kehilangan sekejap saja kesempatan berjumpa dengan gadis itu.
Saat aku sampai di halaman kapel, aku harus sanggup kecewa. Gadis itu tidak ada. Menunduk lesu, kutuntun sepeda dan berteduh sendirian. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman. Dan sia-sia.
“Mencari saya?”
Terkesiap aku menoleh, dan gadis itu sudah berdiri di belakangku.
Sial. Benar kata Asep. Hantu kapel.
“Saya dari dalam”, seolah menyadari keheranan separuh ketakutanku, dia menunjuk pintu di balik punggungnya.
“Hehe. Kamu bikin saya kaget”.
Tak mau kehilangan kesempatan aku buru-buru melanjutkan, “Ada yang bilang, sekali berjumpa itu kebetulan. Dua kali itu keberuntungan. Tiga kali itu takdir. Saya Reza”.
Disambutnya uluran tanganku. “Siapa yang bilang?, tanyanya.
“Eh, lupa. Hehe”
“Krisma”
“Hah, bukan kok? Memangnya siapa itu Krisma?”
Dia tertawa renyah.
“Saya. Kamu tadi tanya nama saya kan? Nama saya Krisma”
“Oh, maaf”, sahutku malu.
Ada jeda panjang yang diisi suara rintik hujan. Kurasa kami sama-sama sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Atau, dia dengan pikirannya dan aku dengan kebimbangan untuk memilih bahan obrolan.
“Reza”, panggilnya lirih hampir tak terdengar.
“Hah? Iya, kenapa?” aku tergagap.
Dia diam cukup lama sebelum akhirnya bertanya,
“Apa kamu percaya takdir?”
******

Sebulan berlalu. Hujan turun belasan kali. Namun ternyata pertanyaan tak terjawab yang ditinggalkan gadis hujan monyet begitu saja menjadi kalimat terakhirnya untukku. Aku tak pernah melihatnya lagi.
******

“Sep, gerimis nih. Kamu yakin ngebiarin mereka hujan-hujanan bangun tenda?”, tanyaku.
Mataku mengawasi gerombolan mahasiswa baru yang sibuk mendirikan tenda di tengah rintik hujan.
“Baru gerimis, Re. Belum hujan badai. Anggap saja sebagian dari ospek. Hehehe…”, sahut Asep nyengir.
Dari kejauhan aku melihat sesosok gadis bersusah payah menancapkan pasak. Kuhampiri dia dan kutawarkan bantuan.
Seseorang melewatiku saat aku menunduk memasang pasak, berjalan pelan sambil berkata,
“Wah, hujan monyet, nih”.
Aku tersentak dan buru-buru mendongak.
“Hei!”, yang kupanggil menengok.
Satu bulan mungkin cukup untuk membuat gambaran orang-orang yang kita temui hanya tiga kali menjadi samar-samar. Tapi aku mengenalinya. Dia jelas gadis hujan monyetku itu. Namun entah mengapa, mata buah badam coklat tua keabuan itu menatapku dengan dengan sorot yang hanya bisa kuterjemahkan sebagai, “Siapa sih, orang ini?”. Oke anggap saja dia lupa.
“Iya, kak. Ada apa ya?”, dia bertanya ragu.
“Hujan monyet. Tadi kamu bilang itu kan?”
“Iya, kak”
“Hujan turun saat matahari bersinar terang, kan?”
“Iya, kak”
Saat dia tak juga menunjukkan tanda-tanda mengenaliku, aku bertanya, “Kamu Krisma, kan?”
Gadis itu menggeleng bingung.
“Bukan, kak. Nama saya Lea”, katanya sambil menunjukkan callcard yang tergantung di lehernya.
Aku mengernyit keheranan.
“Jadi, nama kamu bukan Krisma?”
“Bukan, kak”, gadis itu makin bingung.
Saat dia hendak melangkah pergi, tiba-tiba saja dia berkata,
“Ehm, tapi kak, nama ibu saya Krisma lho”
Aku tertegun. Semua ini menjadi tidak masuk akal. Krisma, Lea, kapel, hujan monyet, mata buah badam. Aku tidak tahu apa yang sedang berlangsung dalam pikiranku. Akal sehatku menggapai-gapai mencari penjelasan rasional. Namun hatiku mendadak berdesir dan aku menyadari sesuatu.
“Lea, apa kamu percaya takdir?”










0 komentar:

Posting Komentar