Dia selalu bilang
namanya Dila. Pada kawan-kawan dan kenalannya, pembeli gado-gado Mak Pon,
penumpang ojek Bang Tedi, juga orang lewat yang iseng menanyakan namanya, dia
selalu bilang namanya Dila. Hanya padaku dia berpesan, “Panggil aku Yung”.
Saat
kutanyai dia, “Nama lengkapmu Dilayung?”,
dia hanya menyahut singkat, “Iye”.
Jadilah aku memanggilnya Yung. Kucoba sekali waktu
memanggilnya Dila, dia cubit pahaku hingga membiru. Sejak saat itu, tak pernah
lagi kupanggil dia selain dengan panggilan yang dimintanya.
Yung datang
ke tempat ini beberapa tahun lalu, di suatu subuh yang basah karena sisa hujan
semalaman. Bawaannya hanya satu tas jinjing dan kardus berisi keripik tempe
yang ternyata melempem.
“Rohimah yang bawain. Udah pikun atau pelit,
kagak ngarti gue. Keripik melempem aja dia kasih”, katanya dengan gaya Betawi
bercengkok Jawa kental sekali.
Mak Pon hanya menoyor kepalanya tanpa bicara sepatah kata
dan menyuruhku membawakan tasnya ke kamar yang dikontraknya.
“Taruh situ aja tasnya.
Nih, buat kamu”, Yung menyelipkan selembar dua puluh ribuan ke dalam
genggaman tanganku.
“Makasih”, kataku
pelan sambil menatapnya hati-hati. Sedikit terbius wewangian yang tajam
menghujam indra penciumanku. Kurasa dia mandi minyak wangi.
Yung tersenyum. Bibirnya yang berwarna merah jambu membentuk
lengkung samar namun ketulusannya jelas terbaca olehku.
“Nok, kamu cantik”,
katanya pelan sambil menatap wajahku lama. Sedikit terlalu lama.
“Namaku kan bukan Nok”,
protesku.
“Suka-suka gue, toh.
Sono mandi lu, siap-siap sekolah”, Yung merebahkan diri di kasur. Rok yang
dipakainya tersibak. Celana dalam merah berenda pun tampaklah.
***
Yung punya pekerjaan. Mungkin dia
wanita karier. Kadang dia pergi seharian. Kadang pergi pagi pulang malam, atau
pergi malam pulang pagi. Kadang sama sekali tak pergi-pergi. Meskipun aku tak
tahu macam apa pekerjaannya, Yung sepertinya punya banyak uang.
“Duit sekolah lu, duit jajan lu,
duit baju lu, duit makan lu, si Dile nyang kasih”, demikian warta dari Mak
Pon. Dalam hati aku berujar, “Baik amat
itu orang”. Tapi Yung memang asli baik hati. Setidaknya kepadaku.
Mungkin gaji Yung berlipat kali lebih banyak dari yang didapat Mak Pon
dengan berjualan gado-gado, karena setelah semua ‘duit’ yang dia keluarkan
untukku, Yung masih sering menyelipkan lembaran lima atau sepuluh ribuan sambil
berbisik, “Buat beli coklat”. Atau
tak jarang, “Buat beli pembalut”. Aku
bahkan belum menstruasi.
Anak yang tak pernah mendapat
pemberian mewah macam itu -kecuali es krim dua ribuan yang kadang-kadang
dibelikan Bang Tedi atas konsistensiku memanggilnya bukan dengan nama sah yang
tertera di akte, Sutejo- segera saja menjadikan Yung sebagai idola. Segala
gerak-gerik Yung kuamati. Kupelajari.
“Bang, Yung itu kerjaannya apa?”, suatu ketika kutanyakan hal itu
pada Bang Tedi.
“Penggembira”, jawabnya.
“Kerjaan macam apaan tuh, bang?”
“Yaa, yang bisa bikin orang-orang bergembira”
“Gundik”, sahut Mpok Ipeh
“Hush, ngawur lu”, sergah Bang Tedi sambil melotot ke arah Mpok
Ipeh.
“Kagaaak..., maksud gue si Dile pan punye penyakit gundik tuh?”,
Mpok Ipeh melirik ke arahku.
“Penyakit kulit itu, Mpok? Itu gudik kali Mpok”, sahutku.
****
Yung cinta mati pada kopi. Kalau
sehari tak minum kopi, Yung bisa senewen setengah mati.
“Ah elu, Dil, itu mah bukan kopi namanya. Cuma tepung ditambah gula,
susu sama rasa-rasa kopi dikit”.
“Berisik!”, hanya itu tanggapan Yung tiap kali Bang Tedi mengejek
kopi instan sachet kegemarannya.
Kalau ada hal lain yang tak bisa
ditinggalkan Yung selain kopi, itu pastilah gincunya. Gincu merah jambu yang
selalu disembunyikannya di balik BH. Meski selalu disimpan di lipatan tubuhnya,
gincu itu hanya dipakai di masa dinasnya. Saat dia memakai terusan bunga-bunga
ungu yang memamerkan lekuk tubuhnya, atau celana jeans yang dikancingkannya
dengan susah payah saking ketatnya. Saat Yung hanya berbalut daster batik
gombrong dengan rambut di roll,
bibirnya merdeka.
“Mpok, yang sering diselip-selipin Yung di sininya itu apa sih?”,
tanyaku suatu waktu pada Mpok Ipeh sambil menunjuk bagian dada.
“Ooh, itu namanya gincu. Lu tau kagak? Itu yang dioles di bibir biar
warna-warni gitu”, jawab Mpok Ipeh.
Aku mengangguk.
“Kenapa harus disimpen di situ sih? Kenapa nggak disimpen di tas aja ya
Mpok?”
“Takut ilang. Itu barang mahal”
Berapa ya, harga sebuah gincu?
“Eh, lu tau gak?”, Mpok Ipeh beringsut mendekatiku dan menatapku
dengan tatapan bersekongkol.
“Tau apa Mpok?”
“Lu tau kagak, kenapa si Dila tu bisa bikin orang-orang gembira kayak
yang Tejo bilang?”
“Kagak, Mpok”, aku menggeleng.
“Gincu itu, noh”, Mpok Ipeh mengulum senyum, “Gincu itu susuknya”
“Hah? Apa tu susuk?”
“Senjata. Itu barang senjata dia”
“Senjata? Gimana cara pakainya? Buat corat-coret muka orang terus orang
itu jadi gembira, gitu?”
“Bego, lu. Ya dia tinggal pakai aja di bibirnya”
“Masa gitu aja bikin gembira, Mpok?”
“Yailah...kagak percaya ni anak. Lu coba aja sendiri sono. Lu ambil tu
gincu, terus lu pakai, lu simpen di BH juga”
“Yah, kan belum pakai BH, Mpok”
“Suka-suka elu dah mau lu simpen dimana. Coba aja deh, nanti pasti
banyak orang yang gembira. Temen lu, guru lu”
“Dia gak bakal marah ya kalau gincunya diambil?”, tanyaku.
“Kagak. Kagak bakalan marah dia”, tutup Mpok Ipeh.
Lalu, suatu pagi ketika Yung
mandi, aku mengendap-endap masuk kamarnya. Gincu yang biasanya tersimpan aman
di dadanya kini tergeletak di atas meja rias. Tak ada yang istimewa dari gincu
itu. Meskipun aku tak paham dunia pergincuan, tapi aku sempat mengira gincu
milik Yung sangat luar biasa. Kukira wadahnya bersepuh emas, tutupnya dihiasi
mutiara asli –kalung Mpok Ipeh mutiaranya palsu menurut Bang Tedi-, atau paling
tidak bentuknya indah. Tapi gincu itu nampak terlalu biasa saja untuk suatu hal
yang kata orang bisa membuat orang lain gembira. Kusambar benda itu dan secepat
mungkin keluar kamar. Aku serius saat aku berkata belum pakai BH, jadi kuselipkan
saja benda itu di kolor celana.
Mpok Ipeh benar. Yung tak marah saat tahu gincunya kuambil dan
kupakai. Dia mengamuk.
Semula dia panik bukan kepalang mendapati senjatanya tak lagi
tergeletak di tempat semula. Heboh, dia obrak-abrik isi kamar sambil mengomel.
“Lu lupa naruhnye kali”,
kata Mak Pon.
“Tadi di meja ini, maaak.
Yakin!”, Yung berseru gusar.
Yung sepertinya melihat sekelebat bayanganku yang beringsut hendak
kabur dari rumah.
“Nok, sini! Bantuin cari barang
gue!”, serunya ke arahku.
Aku menghampirinya sambil tertunduk.
Rupanya aku menunduk kurang dalam. Atau terlalu tebal gincu yang
kusapukan di bibirku karena Yung mendadak berujar tajam. Dia menyadari bibirku
lebih merah dari yang seharusnya.
“Angkat kepalamu”, perintahnya.
Takut-takut aku mengangkat kepala, tak berani menatap wajahnya.
“Kamu. Yang. Ambil. Lipstikku?”,
kata-katanya keluar satu-satu. Mungkin saking marahnya.
Aku mengangguk perlahan. Kusodorkan gincu itu.
“Lalu. Kamu. Pakai. Ini?”
Aku mengangguk sekali lagi.
“PLAK!”
Aku tak tahu, mana yang lebih membekas di ingatanku. Tamparan Yung
atau ekspresi wajahnya. Selama sekian detik, aku merasa melihat kengerian
menjalar dari matanya. Ekspresi itu menggilas pertahananku sebelum akhirnya
semburat merah menjalar di wajahnya, membuat rasa ngeri yang sempat kutangkap
berubah menjadi berang. Yung mencak-mencak dan aku sibuk menahan isak.
***
“Masih sakit?”,
tanya Yung. Nadanya kembali normal.
Aku diam saja. Tapi plastik berisi es lilin yang hampir
lumer yang masih kutempelkan di pipi kiriku seharusnya sudah memberitahu.
“Kenapa kamu ambil tu
lipstik?”
Aku masih diam. Takut salah dan kembali kena gampar.
“Siapa yang nyuruh?”
Setelah sekian detik terjebak sunyi aku akhirnya angkat
suara.
“Kata Mpok Ipeh,
lipstik itu bisa bikin orang yang lihat gembira. Makanya Yung punya banyak duit
karena bisa bikin orang gembira”
Ada suara nafas yang sepertinya dihela dengan susah payah.
“Aku pengin kerja
kayak gitu. Punya banyak duit dan bisa nyenengin banyak orang”
Kulirik Yung dengan ekor mata. Dia mendongak menatap langit
siang yang menyilaukan. Bibirnya nampak pucat dengan warna aslinya.
“Aku pengin kamu kerja
buat nyenengin diri kamu sendiri. Jangan bekerja buat nyenengin orang lain,
apalagi orang lain yang nggak kamu kenal. Aku pengin kamu kerja yang nggak perlu
pakai bedak atau lipstik. Jadi guru, buka jahitan di rumah, atau bikin-bikin
kue kering. Duit nggak banyak ya nggak masalah. Banyak hal yang duit nggak bisa
beli”.
Aku menoleh memandang Yung. Memastikan itu benar dia, bukan jelmaan
Mama Dedeh yang tiap pagi memberi kultum di televisi.
“Hidup buat orang
seperti kita ini mungkin bakalan susah, tapi jalan kamu jangan sampai salah”
“Jalan yang salah itu
yang seperti apa, Yung?, tanyaku.
“Kalau kamu sudah gede
nanti, kamu pasti ngerti”, ujarnya sambil beranjak pergi tanpa menatapku
lagi.
Keesokkan harinya, kulihat Mpok Ipeh sibuk mengompres pipi
kirinya dengan es.
***
Hidup
kembali berjalan normal setelah kasus pengambilan gincu tanpa ijin ditutup.
Yung masih sering terlihat pergi bekerja menggembirakan orang pada waktu-waktu
yang tak tentu. Gincu merah jambu itu sepertinya masih setia berdiam di balik
bra.
Lalu, di suatu hari yang kulupa tepatnya kapan, Yung
berangkat kerja dan tak kembali pulang. Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan
atau setidaknya berjabat tangan. Yung pergi saat aku tak di rumah. Kurasa dia
sengaja.
“Dila nitip pesan buat
kamu. Dia bilang kamu harus sekolah yang rajin. Besok jadi bu guru. Kerja yang
bener. Jangan sampai kayak dia”, kata Bang Tedi beberapa hari setelah Yung
pergi.
“Dila juga nitip ini”,
Bang Tedi mengangsurkan sebuah kotak bekas bungkus kopi instan yang dilapisi
kertas kado.
“Apa ini bang?”
“Mana kutahu”
Kubuka kotak itu.
Benda yang membuatku penasaran hingga berujung kena tampar
tergolek di dalamnya. Kuambil gincu merah jambu Yung dan baru kali itu aku bisa
mengamatinya dengan seksama. Wadahnya yang sewarna dengan bibir Yung
mengingatkanku akan senyumnya yang mudah dirindukan. Kubuka tutupnya dan
kudapati wadah itu kosonng. Gincunya telah habis.
“Kenapa ini dikasih ke
aku, bang? Isinya sudah habis”
Bang Tedi hanya mengendikkan bahu.
“Kamu pakai buat
bandul kalung aja. Keren kayaknya”, celetuk Bang Tedi.
Saat kubolak-balik benda itu, ada yang terjatuh dari
dalamnya. Yung rupanya memasukkan sesuatu yang tadi tak terlihat olehku.
Kupungut benda itu. Seutas kalung. Emas. Ada secarik kertas direkatkan dengan
lem di liontinnya yang berbentuk bulatan mungil. Kubaca sebaris tulisan tegak
bersambung tak rapi yang tertera di sana.
“Untuk adek tersayangku,
jaga diri baik-baik ya, Nok”
Ah, mendadak aku rindu senyum dari bibir bergincu merah
jambu itu...
1 komentar:
km pake susuk kakz? susuk kental manis? *komen selo lagi*
Posting Komentar