"Nasi ruwet Pak Pino", Yosa mengangsurkan
bungkusan beraroma menggoda di depan wajah Rosa.
"Aku gak lapar"
"Kalau begitu, aku numpang makan"
Rosa memutar bola matanya, "Nggak punya tempat makan
sendiri, ya?"
"Nggak punya teman buat nemenin makan, tepatnya"
"Teman-temanmu kemana?"
"Kamu kan tahu, temanku hanya kamu"
Rosa mengeluarkan dengusan bernada geli sekaligus sebal.
"Seenggaknya persilakan aku masuk kenapa sih, Cha?
Tinggal kasih aku map, sudah mirip orang minta sumbangan ni"
"Persilakan persilakan, memangnya kamu Sri Sultan harus
pakai acara dipersilakan segala.
Orang minta sumbangan juga nggak sekurang kerjaan kamu, selarut ini numpang
makan di tempat orang", sahut Rosa jutek namun tak urung dia
menyingkir dari pintu dan memberi jalan untuk Yosa masuk.
Yosa duduk di atas lantai kamar kos Rosa yang lapang dan
menyelonjorkan kakinya. Melihat sang empunya kamar masih berdiri di dekat pintu
sambil bersedekap, Yosa pun mengambil sikap duduk lebih serius lalu
mendongakkan kepala, memandang Rosa lekat-lekat.
"Aku minta maaf. Aku tahu tidak seharusnya aku menyalahkan kamu seperti yang
kulakukan tadi"
Rosa mencibir.
“Aku cuma
mau bagi-bagi tanggung jawab. Masalah produk pending nggak bisa hanya jadi tanggungan satu orang saja.
Ngomong-ngomong, duduk boleh lho, Cha", Yosa menepuk-nepuk kasur di sisi
kirinya.
Rosa mendesah lalu beranjak dari posisi berdirinya dan duduk
di tepi tempat tidur.
"Tapi tadi itu kamu nggak berbagi, kamu menyalahkan
aku. Kalau kamu kirim memo internal lebih awal dan formula kamu beres, aku juga
nggak akan selambat ini validasinya" kata Rosa tajam.
"Errghh...", Yosa menggaruk-garuk rambutnya,
"Ocha, kurang puas ya kamu kerja 10 jam lebih? Kalau aku sih sampai eneg
malah. Jadi please bisa gak kita
bahas kerjaannya besok pas jam kerja saja? Piring dong Cha, lapar banget"
"Ini nih yang aku sebel banget dari kamu", dengan
enggan Rosa bangkit dari tempat tidur, mengambil piring dan menyodorkannya
tepat di depan hidung Yosa, "Selalu mengalihkan pembicaraan di moment yang nggak oke. Ini tuh
semacam aku sedang di kamar bersalin, heboh mengejan dan pas kepala si bayi
hampir nongol kamu tiba-tiba teriak 'Eh, ada piring terbang lewat tuh, Cha!'.
Bikin emosi banget"
Yosa terdiam, piring yang dipegangnya menggantung di udara.
"Kenapa bengong?"
"Eng, aku hanya bingung dengan konsep kamu, aku dan
bayi di kamar bersalin"
"Itu tadi hanya analogi, Yos", sahut Rosa sewot
sambil melengos.
"Analogi yang aneh" gumam Yosa.
“Terus, tadi
kenapa pakai acara menyalahkan aku di depan Linda sih? Sok membela dia lagi.
Kamu kan tahu dia itu, ah sudahlah”
“Sainganmu?”
Rosa mencebik.
“Bukan saingan
ah. Jelek bener istilahmu. Apa ya? Rival lebih cocok”
“Sama saja dong,
Rosa sayang”
“Seenggaknya
lebih terdengar profesional. Aku sebel, kamu jadi nggak obyektif begitu hanya
gara-gara disodori paha Linda. Mending kalau mulus.”
Yosa terkikik
geli.
“Oke, kalau
topiknya hanya soal cemburu, boleh kan ngobrolnya sambil makan?”
“Aku nggak
cemburu, Yos!”, sergah Rosa.
“Huh, nggak
cemburu kok sewot?”, dengus Yosa.
“Susah memang
ngomong sama kamu, Yos”
“Kamu pikir nggak
susah apa ngomong sama kamu?”
Keduanya terdiam
saat rasa jengkel mulai menguar dalam diri masing-masing. Pembicaraan dua teman
lama ini selalu memakan setumpuk kesabaran.
Yosa yang pertama
kali mengendurkan emosinya, menghela nafas panjang lalu membuka bungkus
nasi gorengnya. Kamar Rosa
mendadak dipenuhi aroma menggiurkan. Mau tak mau Rosa melirik ke arah gumpalan
nasi yang masih mengepulkan asap.
"Kalau kepingin bilang aja lho, Cha. Gak usah
gengsi"
Rosa kembali melengos.
"Yaudah, makan saja tu gengsi. Aku sih nggak doyan"
Rosa bangkit dan kini duduk di hadapan Yosa dan memandangnya
dengan wajah serius.
"Sudah kuduga, kamu malem-malem datang kesini hanya
untuk bikin aku jengkel. Cepat habisin makananmu," Rosa mengendikkan
kepala ke arah nasi goreng Yosa, "setelah itu pulanglah"
"Galaknyaaa..."
"You have ruined
my day. You should leave before you ruin my life. Okey?"
Yosa mendadak menghentikan suapannya.
"I never mean to
ruin your day, moreover your life", nadanya berubah serius, "Tahukah
kamu, kata-katamu tadi, tak peduli kamu serius atau bercanda, nancep banget
lho, Cha."
Yosa menggeser duduknya hingga lututnya menyentuh lutut
Rosa. Matanya menatap lekat gadis yang entah mengapa selalu berhasil membuat
emosinya naik turun tak terkontrol. Dan dia benci itu.
"Rosa, kita sudah kenal 6 tahun lebih, dan selama itu
isinya hanya konfrontasi melulu. Apapun topik pembicaraan kita, ujung-ujungnya
selalu perang urat. Kamu nggak capek?"
Rosa menangkap nada jenuh dalam kalimat yang diucapkan Yosa.
Satu hal yang tak pernah terlintas di benaknya, bahwa lelaki yang dia anggap
paling keras kepala di dunia ini bisa juga merasa lelah.
"Sekali aja kita damai bisa nggak sih?"
"Untuk apa berdamai kalau kita juga nggak pernah
musuhan, Yos?"
"Kalau begitu berhentilah bersikap ofensif, oke?"
"Aku nggak ofensif. Kamu tuh yang nyebelin"
Yosa berdecak tak sabar.
"Kamu emang jago bikin orang jengkel. Tapi tetap saja, I can't live without you. Hampa hidupku
tanpa tokoh antagonis", kata Yosa sambil melanjutkan makannya.
Rosa mendengus, tangannya menggapai plastik bungkus nasi
goreng yang teronggok di depannya.
"Apa-apaan ni? Kok tinggal kerupuk? Mana nasi
gorengku?"
Yosa nyengir, "Aku kan nggak bilang aku membelikanmu
nasi goreng. Lagipula tadi kamu bilang nggak lapar. Kenapa sekarang
nyari-nyari?"
Buuuk. Sebuah boneka beruang menghantam kepala Yosa.
"Dasar kumpeni pelit!"
"Nih, kata orang tua, makan sepiring berdua itu
romantis", kata Yosa sambil menyodorkan piringnya. "Perlu aku
suapi?"
Rosa mecibir, namun entah apa yang mendorongnya, dia membuka
mulut dan menerima suapan Yosa. Yosa mendengus geli, betapa gadis jutek dan
keras kepala ini bisa luluh hanya dengan sedikit adegan norak ala film korea
semacam disuapi.
"Haaah...pedes bangeeet, Yos. Kamu kan tahu aku nggak suka pedes. Mau
meracuni aku ya?", Rosa megap-megap. Diteguknya segelas air putih namun
pedasnya tak juga hilang.
"Kamu mau tahu cara paling ampuh menyembuhkan kepedesan?"
"Ambil sikap lilin? Nungging sambil berhitung? Lompat
kodok sambil nyanyi? Nggak! Idemu kan aneh-aneh"
"Kali ini nggak
aneh, Cha. Serius"
"Oke. Terus bagaimana?", Rosa masih megap-megap.
Yosa menatap mata Rosa lekat-lekat. Dan sejurus kemudian
tanpa terduga, bibir Yosa sudah mendarat lembut di bibir Rosa. Tak siap akan
serangan mendadak itu, Rosa membeku. Matanya membelalak, nafasnya tertahan.
Beberapa detik berlalu dan saat Yosa menjauh, Rosa merasa seperti anak kecil
yang dirampas mainannya.
Saat Rosa tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun, Yosa
mendadak terserang panik. Betapa tindakan spontannya tadi bisa berujung
masalah.
"Cha, sori. Aku tadi cuma...", Yosa tak
melanjutkan kata-kata demi melihat tatapan Rosa yang tak terbaca.
"Oke. Aku salah. Silakan cubit aku, tendang atau pukul
aku sesukamu. Tapi please jangan diam
saja"
"Oh, tampar saja. Itu kan yang biasa dilakukan
cewek-cewek di film korea saat ada cowok mencium mereka?" Yosa menyodorkan pipinya.
Bersiap menerima sakitnya tamparan Rosa, Yosa justru
terkejut saat tiba-tiba,
"Cup", pipinya dikecup.
Yosa membuka mata kaget dan melihat Rosa menunduk malu.
Pipinya bersemu.
"Cha..."
"Tadi adalah cara mengobati kepedesan yang paling asik” Rosa mengulum senyum.
“Jadi, masih
nggak suka pedes?” Yosa tersenyum geli.
“Nggak. Asal kamu
selalu ada untuk mengobatinya”
Yosa meraih
tangan Rosa, “Pasti. Aku pasti selalu ada”
Keduanya tertawa
penuh pemahaman tanpa kata.
“Tapi orang
kantor pasti...”
“Bisa nggak kita
ngomongin soal kantor lain kali saja”, potong Yosa, “Kamu sepertinya masih
kepedesan tuh”.
1 komentar:
Hahaha keren2.. yol km kepedesan ga?
Posting Komentar