Mencintai Pagi


Dia membenci pagi.
Seperti halnya cinta, terkadang manusia tak butuh alasan untuk membenci sesuatu.
Tapi dia punya.  Lebih dari sekedar alasan untuk membenci pagi. Dia lahir di pagi hari. Jam enam kurang seperempat tepat ketika ibunya menghembuskan nafas yang penghabisan. Pagi hari di bulan Januari yang dingin yang basah, dia melihat sendiri dengan mata polos anak 6 tahun saat mobil pick-up yang menabrak bapaknya kabur, meninggalkan sang bapak terkapar meregang nyawa di depan sekolahnya.
Semenjak yatim piatu, tiada pagi tanpa cubitan di pipi; demikian cara bulik Tari, adik bapak, membangunkannya. Pagi hari pula, menjelang subuh, dia melarikan diri dengan ketakutan dan kebencian mendalam setelah Ridwan, suami buliknya nyaris memperkosa dia.  Damar, teman masa kecil dan cinta pertamanya, raib dari panti asuhan di suatu pagi setelah malam sebelumnya dituduh mencuri.

Hingga kini, 20 tahun sejak pertama kali dia bisa membenci pagi, tak sepenggal pagi pun yang tidak dia maki. Ribuan paginya penuh sesal, kecewa dan luka. Pagi dan memori terintegrasi membentuk lubang menyakitkan di hatinya. Baginya pagi hari adalah siksaan. Pagilah yang merenggut orang-orang yang dikasihinya. Tiap kali dia bangun dan membuka mata, dia mengucapkan keluhan pada satu lagi awal dari perjalanan yang tak dia suka. Kehidupan. Dia menggugat pagi demi sebuah trauma.

“Selamat Pagi. Pagi itu berkat”, kata Wisang setiap pagi tiap kali berjumpa dia. Ketika dia bertanya kenapa bisa, Wisang menjawab, “Kalau ada saat yang paling pas untuk bersyukur, itu adalah pagi hari. Coba sekali waktu, bangunlah pagi-pagi, nikmati udara yang kamu hirup tanpa tuntutan, rasakan sinar matahari pertama yang kau lihat tanpa menyalahkan, pijaklah tanah basah yang disisakan embun tanpa dendam. Dan cobalah berterima kasih pada yang memberimu pagi. Karena meski pagi sudah merenggut banyak hal darimu, pagi juga sudah menggantinya dengan lebih banyak hal yang tak pernah kamu sadari. Suatu saat kamu akan menyadari, betapa pagi layak dicintai.”
“Itu teori. Terkadang sulit bagi seseorang untuk memahami jika berada dalam posisi tak pernah mengalami”, katanya keras kepala.
“Aku hanya ingin membantumu.”
“Membantuku menghentikan benciku pada pagi?”
“Bukan. Tetapi membantumu menyadari , bahwa itu bukan benci. Itu adalah rasa takutmu. Dan untuk satu hal itu, hanya kamu  yang bisa membantu dirimu sendiri”
“Lagipula, orang tuamu memberimu nama Pagi pasti bukan untuk membuatmu membencinya.”

Lalu, entah dengan cara bagaimana, karena begitulah cinta bekerja, Wisang membantu Pagi untuk perlahan menjadi berani. Berani menerima dan menghadapi pagi. Hidupnya.
Ketakutannya sirna berkat seseorang yang selalu berdiri di sisinya, menemaninya menghirup udara pagi dan tak pernah lupa memandang sinar matahari pertama yang terlukis di matanya sambil berucap, "Selamat pagi, Pagiku. Bagiku, pagi selalu layak dicintai".

Dan sama halnya dengan bencinya yang dulu, sekarang dia punya lebih dari sekedar alasan untuk mencintai pagi. Pagilah yang membuatnya menyadari, betapa dia begitu dicintai. Jam enam tiga puluh, matahari mencetak bayangan Pagi dan Wisang yang saling menggenggam. Bersama, mereka mencintai pagi.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

"Seperti halnya cinta, terkadang manusia tak butuh alasan untuk membenci sesuatu" nice quote

Posting Komentar