'Saya bukan basecame mu. Tempat kamu bisa singgah untuk sekejap. Melepas penat barang sesaat. Saya ingin menjadi rumahmu. Tempat kamu selalu pulang'
Tak ada rahasia. Itu yang kebanyakan orang kira dari sepasang anak kembar. Tak ada rahasia yang disimpan anak kembar satu dari yang lain. Benarkah?
Jelas tidak. Mereka salah. Ada banyak sekali hal yang kusembunyikan dari Yana. Sekumpulan rahasia kecil yang terlahir dari satu induk rahasia besar yang tak pernah akan dia duga. Bahwa aku selalu berharap segera berpisah darinya. Bahwa sejujurnya, aku tak pernah ingin menjadi saudara kembarnya.
Intro Home-nya Michael Buble menginterupsi lamunanku yang tersangkut entah dimana. Tanpa kulihat layar hp, aku sudah tahu siapa yang menelpon. Hanya satu nomor yang kusetel dengan ringtone tersebut.
"Iya Ai, ada apa?"
Suara halus di ujung sana menyahut, "Nara, sedang sibuk ya?"
"Nggak kok Ai, saya nggak sibuk. Kenapa?", tanyaku tenang. Berusaha tenang.
"Ehm, begini, Nara bisa antar Aina ke toko buku?"
Cukup satu kalimat saja, dan aku kehilangan kendali atas kata-kata. Jelas, aku tak pernah mampu menolak.
"Oke. Aina dimana? Saya jemput sekarang."
Jawaban standar orang yang jatuh cinta. Tak pernah ada penolakan. Ya, aku mencintainya. Tulus, apa adanya. Dan tak berbalas.
Seperti biasanya, aku antar dia sampai di depan gerbang rumahnya. Kutunggu sampai dia buka pagar dan berjalan sampai pintu depan. Kali ini adalah kali kesejuta aku menatap punggung mungil dengan rambut hitam yang bergoyang seirama langkah itu menjauh. Kali kesejuta aku meratap karena hanya sekejap saja bisa kunikmati waktu bersama pemiliknya. Kali kesejuta aku mengutuk diriku yang pengecut. Kemudian, ini menjadi kali kesejuta aku menyembunyikan rahasia terdalam ini dari Yana. Bahwa aku, dalam diamku, mencintai Aina. Kekasihnya.
Tentu saja setengah mati kusimpan rahasia ini. Rahasia yang melekat erat dalam diriku bagai bayangan di bawah telapak kaki. Tak sanggup kurenggut paksa dari tempatnya berdiam. Aina ada di sana. Menghuni hampir separuh lebih dari kapasitas total hatiku. Dari dulu. Selalu. Urung berubah walau sudah 4 tahun yang lalu dia diperkenalkan padaku.
"Ini Aina, Nar...", ucap Yana sesaat sebelum kujabat untuk pertama tangan mungil yang kudambakan bisa kugenggam tanpa perlu alasan. "..yang sebentar lagi jadi iparmu", tambah Yana sambil berbisik dengan nada sok tahu. Atau entah apalah perkataannya. Aku mungkin keliru karena yang kuingat saat itu hanyalah sosok yang seketika menerkam jantungku. Aina mungkin menyadari tangaku yang gemetar, atau suaraku yang tercekat saat mengucap, "Hai, saya Nara. Saudara kembarnya Yana". Namun, dia tak mungkin menyadari saat itu, bahwa dia memesonaku. Saat perjumpaan pertama. Saat aku sudah tahu aku salah mengarahkan hatiku.
Benar. Tak lama setelah adegan perkenalan yang membuahkan lamunan panjang bertema Aina, Yana resmi berpacaran dengannya. Jarum pentul warna-warni menghiasi hatiku. Menancap dengan indahnya, menimbulkan sakit yang mengigit. Aina, punya semua hal yang kudamba dari seorang wanita. Tak kusangka patah hati karenanya bisa membuatku begitu terluka.
"Yana itu,,,ehm,,dingin, cuek, nggak peka. Kadang saya suka males banget sama dia", Aina mengadu padaku suatu sore, genap 6 bulan jarum pentul bergoyang-goyang meninggalkan jejak perih di hatiku. Ini yang paling kusuka dari Aina. Membagi semua hal padaku tanpa kutanya. Seolah aku sahabatnya. Ah, Aina. Tak tahu harus merasa apa ketika pemikiran itu terbersit di otakku. Sahabatmu? Aku berharap bisa lebih. Sungguh.
"Saya nggak tahu kenapa, tapi saat saya bertemu Yana, saya tahu saya hanya ingin dia. Ini semacam jatuh cinta pada pandangan pertama, Nar".
"Saya mengerti". Sangat mengerti, Aina. Bukankah itu juga yang kurasakan padamu. Jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Kamu pasti bertanya-tanya kan Nar, kenapa saya bisa pacaran dengan Yana yang terlalu dingin dan cuek itu", tanya Aina sambil menatapku. Yang saat itu tepat sedang menikmati kesempatan mengamati wajahnya. Cepat kupalingkan wajah yang aku yakin mulai memerah sambil tersenyum penuh paksa.
Andai saja kau tahu Aina, satu pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan padamu hanyalah, "Wajah Yana dan saya sangat mirip. Jika kamu bertemu lebih dulu dengan saya dan bukannya Yana, apakah saya yang akan kejatuhan cinta pandangan pertamamu, Ai?"
Aku dan Yana, si kembar identik. Berasal dari sel telur yang sama, berbagi rahim dan plasenta. Jika ada yang paling memahami kami pastinya hanyalah diri kami satu sama lain. Namun pada kenyataannya, aku bahkan merasa tak pernah benar-benar mengenal anak lelaki yang sedang berdiri di depanku ini, menenteng sepatu bola dan berkata dalam ketergesaan, "Nar, nanti malam tolong temani Aina kondangan, ya. Saya ada pertandingan futsal. Penting. Oke?", Itu bukan pertanyaan karena Yana sudah punya jawabannya sendiri. Dia tahu aku pasti mau. Hanya saja kali ini aku -untuk pertama kali- mengemukakan protes.
"Jadi futsal lebih penting dari orang yang kamu sayang? Aku banyak kerjaan."
"Ayolah Nar...", katanya dengan nada biasa. Seolah tak ada gadis yang terluka jika lagi-lagi dia ingkar janji. "Kamu kan sudah biasa menemani Aina kalau aku nggak bisa".
"Pacar Aina itu kamu Yan. Tapi kenapa justru saya yang lebih sering menemani dia?"
"Kamu kan kakak pacar Aina. Jadi nggak masalah kan kalau kamu sering menemani dia. Lagi pula wajah kita mirip, jadi orang bisa saja mengira kamu itu Yana. Oke brother?". Dan adik kembar sial itu pun enyah dari hadapanku tanpa menunggu aku setuju.
Yana, yana... Apa peduliku tentang perkiraan orang apakah yang berjalan di sisi Aina adalah aku atau kamu? Ainalah yang kupedulikan. Bagaimana perasaannya? Apa yang dia pikirkan jika dia menyadari, lelaki yang lebih sering berjalan di sisinya justru aku dan bukan kamu. Pernahkah dia mempertimbangkan untuk lebih baik menjadi kekasihku saja?
Ada kilasan kecewa saat pertama kali Aina melihatku dari balik jendela kamarnya. Aku memakai kemeja batik Yana, menyisir rambut model berantakan ala Yana. Namun dia langsung tahu teman kondangannya bukan kekasihnya. Bahkan ibu kami pun butuh waktu beberapa menit untuk membedakanku dengan Yana jika beliau yang berdiri di balik jendela itu. Tapi dia tahu. Sebegitu berbedakah kami di matamu?
Sesungguhnya kami memang berbeda. Sangat berbeda. Yang menyamakan kami hanya fisik semata. Selain itu, sama sekali tak ada. Sifat, pola pikir, kegemaran, selera sampai minat dan bakat. Setelah 22 tahun hidup sebagai anak kembar dengan hanya kesamaan fisik saja yang mengaitkan kami, punya hal yang kami sukai bersama bisa membuatku terkejut. Aina. Kenyataan bahwa hal yang kami sukai bersama adalah seorang wanita membuatku semakin terkejut. Aku dan Yana terbiasa tumbuh dalam kontradiksi. Jika Yana adalah tipe cuek dan blak-blakan, aku adalah si sensitif yang pendiam. Ketidakmampuanku mengungkapkan emosi dan ekspresi membuatku selama ini tertutup oleh karisma Yana. Yanalah pusat perhatian. Bahwa keberadaanku sering terlupakan, itu sudah biasa. Biasa membuatku muak.
Yana hampir selalu mendapatkankan yang dia mau. Sementara aku, aku bahkan seringkali tak tahu apa kemauanku. Lalu, suatu masa ketika untuk pertama kalinya aku yakin aku tahu apa yang aku mau, Yana justru sudah mendapatkannya. Aina. Genaplah lukaku.
Kopi panas, singkong goreng dan gerimis sendu merayu. Kombinasi yang mantab. Semakin mantab dengan hadirnya gadis pujaan. Yang adalah kekasih orang. Indahnya dunia.
Sambil bercerita, Aina menyeruput teh panasnya. Dengan gula batu dan perasaan jeruk lemon. Kesukaannya. Ya, aku tahu semua hal yang disuka atau yang tak disuka Aina. Yang aku yakin bahkan Yana pun tak tahu. Aku tahu makanan kesukaannya adalah tempe goreng. Jika kebanyakan gadis suka bunga mawar, dia justru suka sekali bunga kol. "Kan enak dimakan", begitu katanya. Aku tahu dia tidak bisa tidur tanpa sarung bantal apek kesayangannya, yang katanya belum pernah dicuci sepanjang hayat dikandung badan. Aku tahu, jika tersenyum hidungnya akan berkerut lucu. Aku tahu dia menggilai Dude Harlino dan tak pernah ketinggalan sinetronnya. Sungguh norak. Dia bisa muntah kalau mencium bau duren dan pantang makan udang karena alergi. Hal yang paling ditakutinya di dunia ini selain hantu adalah jarum suntik. Jangan sekali-sekali menyuruh Aina menunggu lama, dia bisa ngambek berat. Aina paling tidak suka orang yang tidak on time. Orang pertama dan satu-satunya yang tetap disukainya meskipun dia jam karet tulen ya tentu saja Yana. Sial. Tak tahukah Aina, aku jauh lebih kompeten untuk menjadi kekasihnya. Aku, dan bukan Yana, saudara kembar sialku itu. Ah...
"...ya begitulah, kamu tahu sendiri kan Nar?" kata-kata Aina memecah lamunanku. Aduh, cerita apa dia tadi?
"Iya, iya, Ai. Saya ngerti kok." ujarku sambil mengangguk-angguk sok tahu.
"Terus saya harus bagaimana lagi? Saya sampai...", ucapan Aina terputus ringtone ponselnya yang berbunyi nyaring. Afghan, entah apa judulnya. Ah, makhluk sial satu itu.
"Halo Yana...iya sudah..."
Hening.
"Ehm..enggak kok...enggak sayang, beneran"
Suara jantungku berdetak lebih cepat.
"He'em...jangan capek-capek dong, nanti kamu sakit, sayang"
Suara gemeretak api cemburu.
Kubuang pandangan ke pohon palem di dekat pagar. Andai bisa kubuang pendengaran ini juga. Suara rengekan manja Aina dan bisikan-bisikan "iya sayang, sudah sayang, oke sayang" yang bukan untukku itu membuatku jengah. Aku bangkit sambil berguman, "Aku ke WC sebentar ya". Kukira Aina tak mendengar karena mulutnya masih sibuk melafalkan sayang.
Hari jadi Yana dan Aina yang kedua. Dua tahun empat bulan dua belas hari sejak aku mengenal Aina. Dua tahun empat bulan sebelas hari dua puluh tiga setengah jam sejak aku jatuh cinta kepadanya. Lalu menjadi tak terhitung lagi berapa kali hatiku patah. Karena orang yang sama. Aina bagaikan candu. Setengah mati kuyakinkan diriku untuk menghapus perasaan itu. Menetralkan rasa yang seharusnya memang tak perlu ada. Namun aku sadar semua itu sia-sia tiap kali aku teringat akan Aina. Yang sialnya terjadi hampir di seluruh waktu senggangku. Semakin keras aku berusaha melarikan diri dari dinamika ini, Aina mengejar semakin cepat. Lalu, semua usaha tak berujung untuk tidak lagi mencintai kekasih saudara kembarku berakhir dengan aku yang kelelahan karena berdebat dengan diriku sendiri.
Aku hanya berharap semua ini berhenti. Perasaanku. Kecanduanku. Kebiasaan Aina yang menjadikanku pelarian. Ketidakmampuanku menolaknya.
Ada suatu masa dimana aku benar-benar marah. Dengan Yana, dengan Aina, dengan situasi yang menjebak kami bertiga. Dan dengan ketololanku.
Hari jadi Yana dan Aina yang ketiga. Kotak biru mungil itu diletakkan Yana dengan takzim, mungkin dengan diiringi doa dan lagu-lagu pujian, di atas tumpukan buku-buku sastraku.
"Nanti malam saya akan melamar Aina. Hahahaha.."
Tawa itu, pentingkah?
"Coba buka dan lihat cincinnya Nar."
Kucoba memasang wajah polos. Namun aku sadar yang keluar justru wajah fals.
Hati-hati kubuka kotak mungil itu. Rasanya bagai menarik pemicu granat yang ada di dalam hatiku. Sekali tarik, meledak sudah jadi ribuan keping.
"Bagus Yan", sahutku singkat.
Kututup lagi kotak itu sebelum keinginan untuk menelan isinya menjadi semakin besar.
"Kamu kok nggak antusias begitu sih lihat adiknya seneng gini?"
Sejak kapan aku antusias dengan hidupmu, heh?
"Yang ini atau yang ini, Nar?", Aina menyodorkan 2 potong kebaya di depan mukaku.
"Yang itu", aku mengendikkan kepala dengan tampang bosan.
"Nara, saya serius minta pendapat kamu"
"Aina, seharusnya kamu bilang, saya serius pengin nikah sama Yana, yang artinya kamu seharusnya minta pendapat Yana, calon suami kamu. Bukan saya yang cuma teman kamu."
"Itu kebaya bukan saya yang akan bayar, bukan saya juga yang akan ngelepas dari badan kamu saat malam pertama."
Aina berkedip kaget. Itu kalimat terpanjang yang pernah kulontarkan padanya dalam sekali helaan nafas. Sekaligus yang paling keras dan kurang ajar.
Ada segumpal emosi yang mendesak dari dalam perut hendak naik ke kerongkongan. Aku berdiri dan bergegas pergi sebelum kelepasan mengucapkan kalimat "Saya cinta sama kamu".
Aku muak menahan kalimat itu tetap bersarang di angan-angan.
Cincin dan manik-manik kebaya itu terasa sangat menyilaukan hati. Cukup untuk memberi vonis 'menunggu ajal' dari penyakit langkaku yang mengkronis. Keracunan Aina. Cuplikan cinta 3 sudut ini tayang di benakku bagai flashback di film-film dramatis. Segala kebodohan cinta terpendam dan kasih tak sampai seketika membuatku lelah. Aku marah, pada diriku sendiri yang begitu lemah. Bergulat dengan diri sendiri tak kusangka begitu tak masuk akal dan melelahkan. Aku ingin menyerah. Kuluruhpaksakan semua ingatan tentang Aina. Sudah ya Aina, menjadi tempat singgahmu terlalu berat. Aku ternyata tak kuat.
Aku cinta kamu, kamu cinta dia. Ironi kekal ini tak akan pernah selesai. Namun, aku akan mengusaikannya. Akan ada hari di tahun-tahun mendatang dimana kau tak bisa lagi menemukanmu disini. Percayalah.
Hari pernikahan Aina dan Yana. Kupandangi mereka berdua dengan perasaan tak kukenal.
Kulihat Yana menggenggam tangan Aina dan berbisik di atas peti mati, "Kalau ada yang paling mendukung pernikahan ini, pasti kamulah orangnya, Nar. Saya harap kamu bahagia melihat kami".
"Dasar adik kembar sial". Dan aku pun berlalu.
"Itu kebaya bukan saya yang akan bayar, bukan saya juga yang akan ngelepas dari badan kamu saat malam pertama."
Aina berkedip kaget. Itu kalimat terpanjang yang pernah kulontarkan padanya dalam sekali helaan nafas. Sekaligus yang paling keras dan kurang ajar.
Ada segumpal emosi yang mendesak dari dalam perut hendak naik ke kerongkongan. Aku berdiri dan bergegas pergi sebelum kelepasan mengucapkan kalimat "Saya cinta sama kamu".
Aku muak menahan kalimat itu tetap bersarang di angan-angan.
Cincin dan manik-manik kebaya itu terasa sangat menyilaukan hati. Cukup untuk memberi vonis 'menunggu ajal' dari penyakit langkaku yang mengkronis. Keracunan Aina. Cuplikan cinta 3 sudut ini tayang di benakku bagai flashback di film-film dramatis. Segala kebodohan cinta terpendam dan kasih tak sampai seketika membuatku lelah. Aku marah, pada diriku sendiri yang begitu lemah. Bergulat dengan diri sendiri tak kusangka begitu tak masuk akal dan melelahkan. Aku ingin menyerah. Kuluruhpaksakan semua ingatan tentang Aina. Sudah ya Aina, menjadi tempat singgahmu terlalu berat. Aku ternyata tak kuat.
Aku cinta kamu, kamu cinta dia. Ironi kekal ini tak akan pernah selesai. Namun, aku akan mengusaikannya. Akan ada hari di tahun-tahun mendatang dimana kau tak bisa lagi menemukanmu disini. Percayalah.
Hari pernikahan Aina dan Yana. Kupandangi mereka berdua dengan perasaan tak kukenal.
Kulihat Yana menggenggam tangan Aina dan berbisik di atas peti mati, "Kalau ada yang paling mendukung pernikahan ini, pasti kamulah orangnya, Nar. Saya harap kamu bahagia melihat kami".
"Dasar adik kembar sial". Dan aku pun berlalu.
0 komentar:
Posting Komentar